POLITICS

Aparat Tangkapi Pendemo, Alumni Presiden UGM Keluarkan Lima Sikap

Selasa, 24 Oktober 2017

Indonesiaplus.id – Aksi penangkapan pendemo Jokowi-JK disikapi Keluarga Alumni BEM Universitas Gadjah Mada melalui lima sikap.

Perkumpulan BEM-BEM Universitas Gadjah Mada dari berbagai generasi ini meminta pemerintah bisa melindungi hak-hak rakyat Indonesia. Adapun kelima sikap Keluarga Alumni BEM UGM itu antara lain:

1. Menolak dengan segala macam tindakan kekerasan, represifitas dan tindakan anti demokrasi lainnya.
2. Meminta Kompolnas dan Komnas HAM membuat tim investigasi kekerasan dan pelanggaran HAM.
3. Meminta Komisi III DPR RI untuk memanggil Kapolri untuk menjelaskan kasus-kasus diskriminasi dan kekerasa terhadap para aktivis.
4. Menuntut Polisi untuk membebaskan aktivis mahasiswa yang ditangkap.
5. Menuntut pemerintah untuk merealisasikan amanat UUD 1945 yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerataan ekonomi, keadilan hukum dan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima sikap itu ditandatangani para ketua atau presiden-presiden BEM UGM, seperti Hasannudin Kholil (1995-1996), Heni Yulianto (1996-1997), Haryo Setyoko (1997-1998), Huda Tri Yudiana (1999-2000), Nurhidayanto (2000-2001), Rahman Toha Budiarto (2001-2002), dan Arif Fibrianto (2002-2003).

Juga, ada Yudi Eka Prasetya (2003-2004), Romi Ardiansyah (2004-2005), Hanta Yuda (2005-2006), Agung Nugraha (2006-2007), Agung Budiono (2007), Budiyanto (2008), Qadaruddin Fajri Adhi (2009), Aza El Munandiyan (2010), Luthfi Hamzah (2011), dan Giovanni Fadhillah van Empel (2012).

Termasuk Yanuar Rizki Pahlevi (2013), Adhitya Herwin (2014), Satria Triputra Wisnumurti (2015), dan Ali Zaenal Abidin (2016). Melalui lima sikap itu, mereka menegaskan kembali kalau rakyat punya hak untuk mengingatkan pemerintah, yang dilindungi Pasal 28 UUD 1945.

“Namun, pemerintah dalam hal ini aparat Kepolisian bertindak berlebihan dalam merespon setiap tindakan rakyat Indonesia yang menyampaikan pendapat kritis terhadap pemerintah,” kata Ali Zaenal melalui pesan tertulisnya, Selasa (24/10/2017).

Pada sisi lain, penegak hukum terkesan tebang pilih ketika harus dengan tindakan sejenis yang berasal dari kelompok pendukung pemerintah.

Pernyataan tertulis alumni presiden BEM, penetapan tersangka terhadap aktivis mahasiswa dengan sangkalan mengganggu ketertiban umum dan perusakan sarana publik, membuat heran kalau hukum di Indonesia tidak lebih alat politik kekuasaan.

Pasalnya, beberapa waktu lalu ada sekeompok orang merusak kantor Kemendagri tapi tidak ada tindakan.

“Hal ini jelas terjadi pelanggaran HAM dalam bentuk tidak diwujudkannya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum,” tulis pernyataan sikap tersebut.

Para aktivis menilasi, pemerintah mulai ketakutan dengan gerakan kritis rakyat yang mulai sadar dari buaian pencitraan. Sebuah metode yang terbukti sukses membungkam sikap kritis yang pernah dilakukan pada masa orde baru dengan menggunakan tindakan represif.

Tujuannya, dirasa jelas melanggengkan kursi kekuasaan dan membuat efek jera namun lupa kalau Indonesia merupakan negara demokrasi. Mereka menegaskan, tindakan represi tidak akan membungkam, dan perlawanan tidak akan berhenti sebelum pemerintah memenuhi hak rakyat Indonesia secara adil dan merata.[Mus]

Related Articles

Back to top button