POLITICS

Usai Pilkada Tidak Sembarangan Geser ASN, Ini 3 Syarat dari Mendagri

Indonesiaplus.id – Ada tiga syarat membolehkan kepala daerah melakukan mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) tertuang dalam Surat Edaran (SE) Mendagri tentang Penegasan dan Penjelasan Terkait Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020.

“Jadi, kami buat edaran agar tidak melakukan mutasi, kecuali kalau pejabatnya ada yang wafat, melakukan perbuatan pidana sehingga ditangkap dan ditahan, atau jabatan itu kosong,” ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian di Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021).

SE tersebut, kata Tito, dikeluarkan untuk menyukseskan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Khusus pada Pasal 71 Ayat 2 yang berbunyi: Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Menurut Tito, mengeluarkan SE tersebut agar kepala daerah yang mencalonkan diri lagi, tidak menyalahgunakan kewenangan mutasi pejabat ASN di pemda untuk siasat memperoleh suara ASN pada pilkada.

“Alasan dikeluarkan SE tersebut, nanti partai-partai yang bukan petahana (incumbent) komplain ke saya. Sehingga, yang diuntungkan petahana begitu,” ucap Tito.

Menurut Mendagri, usai penetapan pasangan calon pemenang pilkada, larangan mutasi ASN oleh kepala daerah juga masih berlaku sama. Hal itu menjaga agar tidak terjadi mutasi terhadap ASN, yang sengaja disingkirkan, karena tidak menjadi simpatisan kepala daerah terpilih tersebut.

“Memang sama saja, tidak boleh melakukan mutasi kecuali tiga hal ini. Wafat, kena pidana, atau jabatan itu kosong. Karena apa? Supaya tidak terjadi mutasi-mutasi yang mengganggu stabilitas pemerintahan,” terangnya.

Tito menegaskan bahwa agar tidak ada gangguan stabilitas pemerintahan itu bisa terjadi jika mutasi ASN tersebut dilakukan dengan motif-motif tertentu.

“Mumpung belum pelantikan, dimutasi semua, untuk janji atau untuk yang lain, kami enggak mengerti. Usai pejabat baru masuk dianggap bukan ‘orangnya’, ganti semua. Kondisi itu tidak bagus untuk pemerintahan dan karier pegawai,” pungkas Tito.[had]

Related Articles

Back to top button