Menelusuri Makna Kebhinekaan dari Tanah Rote
Indonesiaplus.id – Matahari bersinar terang kekuningan diiringi udara terik menyambut kami saat pertama kali menginjakan kaki di Bandara David Constantia (DC) Saudale di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (29/8/2016).
Hal yang sama dirasakan puluhan puluhan guru dari berbagai wilayah perbatasan Indonesia untuk mengikuti acara Kemah Guru Wilayah Perbatasan (Kawasan) 2016.
Menaiki beberapa mobil mengantarkan rombongan ke lokasi acara yang memakan waktu lebih dari 1,5 jam perjalanan darat. Di sepanjang perjalanan, kanan dan di kiri, sketsa alam tanah kering menyeruak mata kami dengan sedikit tumbuhan hijau yang masih tersisa sedang dinikmati hewan-hewan ternak, seperti sapi, kerbau, kambing, serta babi.
Semua rombongan disuguhi pemandangan alam nan indah, walau musim kemarau terasa seperti di padang sahara, Afrika. Sesekali hewan-hewan kecil, seperti anjing, babi dan segerombolan kambing yang melintas di jalan menjadikan laju kendaraan yang kami ditumpangi harus mengurangi kecepatan.
Tak pelak pemandangan yang indah tersebut, menjadikan rombongan berlomba mengabadikan melalui smarthone dan kamera saku dari jendela-jendela mobil yang sedang melaju, jepret… jepret….klik…klik…..baik berupa foto maupun video.
Tak terasa, waktu menunjukkan waktu pukul 17.30 waktu setempat, dan tentu lebih cepat 1 jam dari waktu Indonesia bagian barat. Sudah tiba di sebuah resort yang cukup luas di kawasan itu, Anugrah Spa & Dive Resort, dengan cotage-cotage berjejer empat di atas dan lima berundak ke bawah.
Tersedia kolam renang berukuran 4 x 7 meter disiapkan untuk penginap yang ingin merasakan air di tepi pantai yang masih asri dan bersih itu. Sementara, di sebelah kiri areal dilengkapi ruang tempat makan dan mini bar yang sering dikunjungi warga asing untuk sekerdar minum-minum.
Pantia membagikan kunci cotage dan kepada peserta untuk beristirahat dan menyimpan segala perbekalan yang dibawa dari daerah asal mereka. Termasuk saya dan teman dari sebuah koran harian terbesar kedua di Indonesia.
Namun, sayang maksud hati mengabadikan moment sunset tapi sudah keduluan sang mentari tenggelam di ufuk barat. Menikmati senja di sini, setidaknya melupakan sejenak kemacetan lalu lintas ibu kota, Jakarta, dan tenggelam dalam suasan damai di tanah Rote.
Pengumuman disampaikan untuk acara pembukaan akan dilaksanakan malam hari dan langsung diisi dengan sesi pertama dan dibuka secara resmi oleh Direktur Sejarah, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Para guru di perbatasan diajak untuk kreatif dan inovatif dalam mengajarkan sejarah kepada anak didik yang harus dilengkapi referensi bacaan memadai. Peran strategis para guru sejarah, salah satunya menanamkan kecintaan kepada Indonesia bagi generasi mendatang.
“Untuk menjadi guru hebat perlu wawasan yang cukup, salah satunya dengan memiliki referensi bacaan yang tersedia saat ini dalam berbagai media, ” ujar Triana Wulandari, Direktur Sejarah.
Sebelum mengakhiri acara pembukaan, ia mengingatkan tujuan Kawasan 2016 sebagai upaya mengumpulan para guru di perbatasan untuk saling berbagi pengalaman dengan segala keunikan, keberagaman, serta kebhinekaan bangsa Indonesia.
“Setelah acara selasai, para guru ada akan rekomendasi yang harus dibawa dan sejarah
tak sekedar pelajaran melainkan upaya internalisasi kecintaan terhadap Indonesia melalui Gerakan Nasional Cinta Indonesia (Genta),” tandasnya.
Rasa lelah selama perjalanan, mengantarkan semua perserta tenggelam dalam syahdu malam disinari rembulan menuju mimpi-mimpi Indah akan Indonesia yang bhineka dan jaya di tangan generasi mendatang.[Hmd]