LKC: Bahasa Sunda Bisa Punah Tahun 2026
Sabtu, 25 Februari 2017
Indonesiaplus.id – Pemerhati budaya dan bahasa memperkirakan kepunahan bahasa Sunda semakin nyata. Hal itu disebabkan generasi milenial bergeser dan menganggap bahasa lain lebih keren atau unggul, dibandingkan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Menurut Ketua Lembaga Kesenian Cianjur (LKC) Luki Muharam, bahwa pelestarian bahasa Sunda oleh generasi penerus yang tidak kentara berpotensi menghilangkan bahasa tersebut.
“Diperkirakan pada 2026, kepunahan Bahasa Sunda bisa terjadi. Bahasa Sunda di Tanah Sunda ini terus tergeser oleh bahasa lain yang dianggap anak-anak muda lebih keren. Sebut saja, Bahasa Inggris yang sedikit banyak mempengaruhi gaya berbahasa, ” ujar Luki, Jumat (24/2/2017).
Tidak sedikit orang yang lebih senang dipanggil dengan panggilan yang kebarat-baratan. Misalnya, Daddy banyak dipakai untuk menggantikan Bapak atau Abah. Tak hanya bahasa Inggris, saat ini pun kontaminasi bahasa lain dirasa semakin banyak terjadi terutama karena tayangan televisi dan tren budaya luar.
Akhirnya, pergeseran nilai pun terjadi, sehingga penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu maupun daerah lambat laun terkikis. Tentu saja, hal itu bisa berlarut-larut jika penggunaan dan pengajaran bahasa Sunda tidak dioptimalkan pada generasi penerus tersebut.
“Memang, kepunahan bahasa bukan dalam arti sebenarnya, secara definitif itu diartikan sebagai pergeseran penggunaan. Nantinya, bukan bahasa ibu atau indung sepenuhnya, tapi lebih kamalayon atau kemelayuan,” katanya.
Masih banyak cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan bahasa Sunda. Salah satunya, dengan pemaksaan dengan mengandalkan kekuasaan dari Pemerintah Kabupaten Cianjur saat ini.
Misalnya, kata Luki, cerita masa lampau, penggunaan tata bahasa yang dikenal sebagai undak-unduk basa ditekankan pada masa Mataram. Sedangkan, pada masa Pajajaran, tidak ada aturan pasti penggunaan bahasa Sunda. Karena dipaksakan akhirnya kini penggunaannya pun terus berjalan sampai sekarang.
“Harus ada pemaksaan untuk menggunakan bahasa Sunda. Apalagi, Cianjur itu jadi patokan daerah lain karena penggunaan bahasanya yang dinilai halus,” ucapnya.
Pemkab Cianjur mewajibkan penggunaan Bahasa Sunda yang menjadi bahasa ibu bagi Cianjur. Sebab, Pemkab dapat mengatur penggunaan Bahasa Sunda di hari-hari tertentu. Berangkat dari siswa sekolah yang dinilai dapat mulai menerapkan penggunaan bahasa setiap hari.
Walaupun terkesan dipaksakan, tapi ia yakin ke depannya akan berjalan baik. Pasalnya, hal itu dapat menjadi salah satu upaya konkret pemkab dan unsur masyarakat. Penerapannya pun dapat dibarengi dengan pengenalan aksara Sunda yang masih tidak dimengerti oleh banyak orang.
“Untuk aksara sendiri, cukup miris karena sudah tidak dikenal. Kami pernah usulkan, agar dibuat plang nama jalan atau nama dinas yang menyertakan aksara Sunda. Tapi tidak direalisasikan, makanya masih saja tidak dikenal,” keluhnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat Ade Barkah Surahman menuturkan, bahasa ibu menjadi modal dasar kelanjutan bertumbuhnya Indonesia. Terlebih Indonesia yang dikenal karena keberagaman, termasuk dalam aspek bahasa sehingga perlu dibiasakan sejak dini.
“Anak harus mengenal bahasa daerah atau bahasa ibunya terlebih dahulu. Baru menggalakkan gerakan anak harus Berbahasa Indonesia, setelah anak kenal bahasa daerahnya dulu,” ucapnya.
Jangankan diperkotaan, bahasa daerah di perkampungan bahkan mulai ditinggalkan. Padahal, penggunaan bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Sunda dianggap lebih baik. Menurutnya, menyebutnya sebagai jati diri, terlebih bahasa merupakan kekayaan tak terhingga.
Penggunaan bahasa daerah perlu diberlakukan lagi. Terutama bagi para pejabat yang dianggap harus memberikan teladan dengan berbahasa Sunda disamping berbahasa nasional. “Jangan malu untuk berbahasa daerah, karena kalau sudah tidak ada generasi penerusnya bisa saja bahasa itu punah,” tandasnya.[Mor]