Dirjen: Simbol Negara Tak Hadir Begitu Saja, Melainkan Melewati Perjalanan Panjang dan Berat
Selasa, 14 November 2017
Indonesiaplus.id – Sejarah tak sekedar menghafal tanggal, nama dan peristiwa di masa lalu. Melainkan bisa dipahami melalui simbol-simbol negara, seperti bendera merah putih, lagu Indonesia Raya dan salam kebangsaan.
“Harus diakui simbol negara itu kadang luput dari perhatian. Kami ingin mengembalikan lagi ingatan masyarakat akan pentingnya memahami makna dari simbol-simbol tersebut, ” ujar Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid saat membuka dialog kesejarahan merayakan bendera pusaka “Pemuda dan Sang Merah Putih” di Gedung A, Plaza Insan Berprestasi, Kompleks Kemdikbud di Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Tidak hanya luput, kata Hilmar, sikap masyarakat terhadap simbol-simbol negara kerap kali menganggap biasa. Padahal, simbol-simbol tersebut telah melawati perjalanan sejarah yang panjang dan berat.
“Kita menerima simbol-simbol negara itu sudah jadi. Namun perlu diingat, simbol-simbol kebangsaan itu tidak hadir begitu saja, melainkan sudah melewati sejarah yang panjang dan berat, ” katanya.
“Saya kasih contoh, ketika Wage Rudolf Supratman sang pencipta lagu Indonesia Raya dan kini sudah difilmkan. Betapa dia mengalami penderitaan sangat berat ketika menyanyikan lagu kebangsaan disaat kita masih dijajah kolonial Belanda, ” ucapnya.
Ditjen Kebudayaan melalui Direktorat Sejarah menghidupkan kembali lagu kebangsan Indonesia Raya yang dinyangikan dalam dalam tiga stanza. Hal tersebut semata untuk menjaga sejarah kepada generasi bangsa.
“Hasil diskusi dan disepakati untuk menghadirkan kembali lagu Indonesia Raya dalam tiga stanza, karena syair-syair di stanza kedua dan ketiga yang begitu bagus, ” katanya.
Termasuk mengucapkan salam kebangsan juga diperkenalkan kembali berdasarkan peraturan pemerintah tahun 1945, tentang cara mengucapkan salam kebangsaan.
“Salam kebangsan diatur empat belas hari pasca diumumkan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada 31 Agustus 1945, yaitu tangan diangkat sebatas bahu, lima jari berjejer dan didorong ke arah depan, sambil memekikkan…merdeka!, ” tandasnya.
Salah satu bagian dari cara belajar sejarah yang efektif adalah betapa pentingnya untuk membangun komunikasi antargenerasi dan membaca dimensinya.
“Dengan memahami simbol – simbol negara akan mampu mengembangkan kesadaran sejarah untuk membangun masa depan bangsa lebih baik,” terangnya.
Dialog Kesejarahan digelar untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, dengan menghadirkan narasumber Bambang Sulistomo, putra pahlawan Bung Tomo; Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia; serta Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonsia (UI).[Mor]