POLITICS

Panglima TNI: Selama Ada Pancasila, RI Akan Tetap Berdiri Tegak

Selasa, 15 Agustus 2017

Indonesiaplus.id – Saat ini, euforia kebebasan atas nama demokrasi kian membuncah. Sehingga, demokrasi di Indonesia dinilai berada di lampu kuning.

Demokrasi di Indonesia yang saat ini cenderung menjauh dari nilai-nilai Pancasila. “Saya melihat sudah mengarah ke liberal. Indikatornya, bagaimana kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, dibuka terlalu luas, terlalu lebar,” ujar Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada simposium nasional bertema Bangkit bergerak, pemuda Indonesia majukan bangsa di Jakarta, kemarin.

Arah demokrasi seperti itu, kata Tito, perlu menjadi perhatian karena lapisan masyarakat kelas bawah masih mendominasi. Pasalnya, ia khawatir kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat untuk mengganggu jalannya pemerintahan.

“Jika ini dibiarkan, tentu akan terjadi konflik vertikal, yaitu keinginan kelas bawah yang ingin instan mencapai kesejah­teraan sehingga siapa pun pemimpinnya akan dituntut. Baru dua tahun, tiga tahun, mereka akan menyalahkan pemimpinnya,” katanya.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu mengingatkan seharusnya demokrasi pasca-reformasi tetap berpijak pada Pancasila. “Jangan sampai salah arah setelah refor­masi, ini kita lihat terapkan demokrasi. Per­tanyaannya, apakah sistem demokrasi saat ini masih berpijak pada Pancasila atau bukan,” ucapnya.

Di yang sama, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan, bahwa bangsa Indonesia akan tetap utuh dan tidak akan terpecah selama ada Pancasila.

“Negara ini penduduknya adalah orang-orang yang sudah tidak bisa terbantahkan lagi. Berdasarkan sejarah dan antropologi budaya adalah kumpulan dari kesatria dan patriot. Jadi, tidak bisa negara lain menghancurkan negara ini selama masih ada Pancasila,” katanya.

Sementara itu, Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, perkembangan toleransi di Indonesia tengah menghadapi ancaman, khususnya terkait dengan banyaknya kasus radikalisme dan intoleransi.

Survei yang dilakukan The Wahid Institute, tercatat ada 0,4% atau setara 600 ribu jiwa yang pernah melakukan tindakan radikal. Survei juga menyebutkan sekitar 7,7% atau 11 juta orang yang mengaku akan melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan.

“Walaupun ada ancaman, tetap ada po­tensi so­lusi, yaitu lebih dari 80% masyarakat In­donesia percaya pada Pancasila dan demokrasi. Jadi, di sinilah modal awal kekuatan kita,” terangnya.

Terkait demokrasi yang dituding kebablasan, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Khairul Fahmi, berpandangan demokrasi di Ta­nah Air sudah berjalan pada rel yang benar. “Cuma memang masyarakat kita yang belum siap menerima,” tandasnya.

Secara filosofi, kata dia, demokrasi memang liberal. “Dalam demokrasi, kebebasan dan kesetaraan individu diakui dan dilindungi konstitusi, ” katanya.

Khai­rul menandaskan, bahwa agar tidak terjebak pa­da ke­kacauan akibat bebasnya individu, hukum menjadi pagar. “Hukum harus di­tegakkan secara tegas dan menurut ca­ra-cara yang sah. Alat-alat negara juga ha­rus taat hukum,” katanya.

Setali tiga uang, pengamat politik Unair Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan kebebasan tidak bisa dinafikan dalam sistem demokrasi. “Di sinilah negara harus berperan menetapkan hitam-putih aturan hukum yang tepat dalam mengelola kebebasan,” tandasnya.[Mus]

Related Articles

Back to top button