Menko Polhukam Minta Tidak Ada Aksi Politis Pada Minggu Tenang

Rabu, 1 Februari 2017
Indonesiaplus.id – Masyarakat diminta melakukan demonstrasi atau unjuk rasa selama masa tenang pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu 12-14 Februari 2017. Aksi yang dimaksud yaitu berbau politis dan bertujuan mempengaruhi pemilih menentukan pilihannya.
“Kalau dilarang agar dipatuhi. Kalau minggu tenang jangan demonstrasi. Minggu tenang jangan kampanye, ya jangan. Sebelum minggu tenang, 1 hari sebelumnya mendekati minggu tenang ya tenang-tenang saja. Jangan malah ke sana ke mari memanfaatkan itu, mempengaruhi proses itu, tentu tidak bijak,” ujar Menko Politik Hukum dan Keamanan Wiranto dalam Rapat Koordinasi Pilkada Serentak 2017 di Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Pihaknya, meminta masyarakat percaya pada proses hukum dan tidak mencurigai hal-hal yang sedang ditangani kepolisian. Dia memastikan, kepolisian bertindak berdasarkan hukum. Para pemimpin yang ada di tengah-tengah masyarakat harus mengajak masyarakat membangun ketenangan.
“Para pemimpin formal atau nonformal jangan mengajak untuk membuat keadaan tidak tenang. Itu tidak layak sebagai seorang pemimpin. Pilkada ini bukan milik pemerintah, pilkada bukan milik kontestan, pilkada milik rakyat, milik kita bersama, semua berpartisipasi,” imbaunya.
Sementara itu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelaskan, demonstrasi sebenarnya tidak masalah, asalkan demonstrasi itu tidak berkaitan sama sekali dengan pilkada. Dalam hal itu, bawaslu menurut Gatot berperan penting mengawasi pilkada.
“Jika ada informasi atau ada demonstrasi pada minggu tenang berkaitan dengan politis, pilkada maka bawaslu harus melarang dan TNI dan Polri siap di belakangnya bawaslu,” tegas Gatot.
TNI siap membantu polri mengamankan pilkada. Bahkan dia mempersilakan pangdam, dandim, danrem membantu polri mengamankan pilkada di lapangan tanpa melapor lebih dulu ke panglima.
“Laksanakan dulu baru laporan. Kalau kamu laporan dulu, iya kalau saya lagi bangun. Kalau sudah habis duluan? Karena kecepatan informasi yang didapat harus segera ditindaklanjuti. Saya sudah perintahkan. Yakinlah kalau saya sudah perintahkan anak buah saya, pasti dipatuhi. Kalau tidak dipatuhi selesai dia,” ujarnya.
Ketua KPU Juri Ardiantoro mengatakan pilkada memang kontestasi memburu kekuasaan kursi gubernur, bupati, dan walikota. Sehingga, kadang orang menggunakan banyak cara memenangkan pertarungan ini. Mobilisasi massa, kata Juri, jadi salah satu yang digunakan sehingga kandidat seringkali menunjukkan eksistensi dukungan sebelum hari pemungutan suara.
“Kalau berkaitan dengan ketertiban umum maka kepolisian punya prosedur untuk mengatasinya. Jadi sampai di situ kita tidak ada masalah. Yang masalah kalau ada usaha dari pengumpulan orang itu untuk menghalangi orang untuk memilih atau memaksa orang untuk memilih atau tidak memilih. Nah itu tidak boleh,” ucapnya.
Kalau hal-hal itu dilakukan pada minggu tenang dan dikategorikan kampanye, Juri menegaskan hal itu dilarang. Namun, pengumpulan massa dalam batas tertentu di masjid karena pengajian, istigosah, salawatan, dll menurut Juri sudah jadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. “Nggak ada masalah. Asal tidak digunakan sebagai ajang kampanye,” tandasnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengingatkan kepala daerah selalu berkoordinasi dengan instansi dan komponen masyarakat. Pemerintah daerah bukan hanya gubernur hingga kepala desa atau kepala kelurahan. Namun, di dalamnya juga ada kepolisian, TNI, kejaksaan, pengadilan, DPRD, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama.
“Untuk mengamankan 101 pilkada, 101 kepala daerah harus berkoordinasi dengan instansi dan komponen itu,” kata Tjahjo.
Pemerintah yakin, pilkada 2017 aman dan aka bermanfaat bagi semuanya untuk mempersiapkan pilkada serentak 2018 yang sangat banyak. Tjahjo menyebut, pilkada 2018 akan meliputi Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Papua, Kaltim, Sulsel, Sulteng, Kalbar, Sumut, Riau, Sumsel, Lampung, dll.[Mus]