Budi Santoso: Maladministrasi Jadi Embrio Tindak Korupsi
Senin, 27 Maret 2017
Indonesiaplus.id – Pada sesi wawancara Panitia Seleksi (Pansel) Penasihat KPK 2017-2021 di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Budi Santoso, mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengatakan, maladministrasi merupakan embrio tindak pidana korupsi.
Budi menandaskan, bahwa seluruh tindak korupsi bermula dari maladministrasi. Maladministrasi adalah perilaku melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik, yakni meliputi penyalahgunaan wewenang atau jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, serta menunda berlarut.
Misalnya, ORI menerima sekitar 6.000 laporan dugaan maladministrasi setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, laporan-laporan yang terbukti maladiministrasi terdapat korupsi di dalamnya.
“Berbagai laporan yang terbukti maladminstrasi itu embrio dari korupsi. Semua korupsi itu awalnya maladministrasi,” ujar Budi di Gedung KPK Jakarta, Minggu (26/3/2017).
Misalnya, kata Budi, seorang pengacara yang terbukti tindak pidana, pasti melanggar kode etik. Meski demikian, tidak seluruh tindak korupsi bermula dari maladministrasi. “Saya tidak mengatakan 100 persen korupsi itu sebelumnya maladministrasi,” katanya.
Selama menjadi Komisioner ORI, Budi mengaku banyak menerima pengaduan dan laporan terkait maladministrasi dan pelayanan publik yang tidak transparan. Masyarakat terutama kelas menengah ke bawah di daerah harus menggunakan suap untuk mendapat pelayanan publik yang jadi haknya.
Melalui trigger mechanism atau mekanisme pemicu yang dimilikinya, ia yakin KPK dapat mencegah terjadinya korupsi di sektor pelayanan publik melalui sistem pencegahan yang terintegrasi.
“Kewenangan KPK, dia harus leading di situ, mengkoordinasikan proses-proses. Bagiamana dalam satu Pemda itu pelayanan publik itu memenuhi standar-standar kualitas tertentu,” tandasnya.
Selain itu, ia juga merasa kalau revisi Undang-undang (UU) KPK belum mendesak. “Saya melihat kalau mau fair, justru Undang-undang Tipikor yang lebih dulu direvisi ketimbang undang-undang KPK,” ucapnya.
Saat ini, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih terbatas kewenangannya. “UU Tipikor masih terbatas juga kewenangannya, dalam mendefinisikan korupsi saja, itu kan Indonesia paling sempit,” katany.
Kalau UU Tipikor yang terlebih dahulu direvisi, maka secara otomatis UU KPK akan menyesuaikan. “Secara logika sederhana, kalau Undang-undang Tipikor direvisi lebih dulu, saya kira KPK secara otomatis menyesuaikan,” katanya.
Sebanyak 13 calon Penasihat KPK dinyatakan lolos tahap akhir wawancara. Mereka adalah Antonius D R Manurung dari Universitas Mercubuana, Budi Santoso dari Ombdusman RI, Burhanuddin dari dosen Hukum Pidana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Edi Sutarto dari Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Edward Efendi Silalahi akademisi dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
Selain itu, juga ada Johannes Ibrahim Kosasih dari Universitas Kristen Maranatha, Moh Tsani Annafari dari Kementerian Keuangan, Muhammad Arief dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Nindya Nazara dari PT Gerbang Berkah Solusi Indonesia.
Empat calon lainnya, yaitu Roby Arya Brata dsri Sekretariat Kabinet, Sarwono Sutikno dari Institut Teknologi Bandung, Vincensius Manahan Mesnan Silalahi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Wahyu Sardjono dari Garuda Indonesia.[Mus]