Di Indonesia Konstruksi Tahan Gempa Merupakan Kebutuhan
Rabu, 24 Januari 2018
Indonesiaplus.id – Gempa bumi berkekuatan berkekuatan 6,1 SR di laut berjarak 43 km barat daya Kabupaten Lebak, Banten, Selasa (23/1/2018) kemarin terjadi pada pukul 13.34 WIB.
Dampak gempa 6,1 SR mengakibatkan 479 rumah rusak yang terdapat di wilayah Banten dan Jawa Barat.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho bahwa sebagian besar kerusakan rumah dan bangunan akibat minimnya konstruksi menahan gempa.
Bercermin pada kejadian gempa sebelumnya, Sutopo menegaskan konstruksi bangunan tahan gempa adalah kebutuhan yang mutlak di wilayah Indonesia khusus di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Kenyataannya masih sangat minim rumah dan bangunan yang dibangun secara khusus mampu menahan gempa. Akibatnya setiap terjadi gempa dengan kekuatan cukup besar kerusakan bangunan banyak, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Misalnya, dampak gempa 6,9 SR pada (15/12/2017) menyebabkan 4 orang tewas, 36 orang luka, 8.860 rumah rusak ( 1.160 rusak berat, 1.950 rusak sedang, 5.750 rusak ringan), 99 sekolah rusak, 67 tempat ibadah dan lainnya.
Kerugian dan kerusakan akibat gempa mencapai Rp 250,76 miliar, dimana Rp 228,62 miliar adalah kerusakan dan kerugian di sektor permukiman. Untuk memulihkan memerlukan Rp 152,5 miliar.
“Korban jiwa bukan karena gempanya tapi karena bangunanya,” ujar Sutopo dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (24/1/2018).
Bangunan yang tidak kuat lalu roboh dan menimpa penghuninya. Gempa adalah keniscayaan. Dalam setahun rata-rata kejadian gempa di Indonesia mencapai 6.000 kali gempa.
Selain itu, gempa di selatan Jawa yang merupakan zona sepi gempa besar. Zona selatan Jawa khususnya dari segmen Pangandaran hingga Pacitan dan Banyuwangi adalah zona seismic gap.
Lempeng Indo Australia dan Eurasia di selatan Jawa ini aktif bergerak rata-rata dengan kecepatan 6,6 cm per tahun. Ratusan tahun tanpa gempa besar sehingga energinya terkunci. Artinya ada potensi yang besar.
Suatu saat bisa lepas energinya menjadi gempa dan membangkitkan tsunami. Kapan? Kita tidak tahu pasti. Untuk itu perlu meningkatkan kewaspadaan. Persiapan dan mitigasi menghadapi gempa harus ditingkatkan.
“Tata ruang, building code, kesiapsiagaan, dan lainnya harus ditingkatkan agar kita tidak selalu siap menghadapi kondisi yang terburuk,” katanya.
Lebih lanjut ia menegaskan pula gempa tidak dapat diprediksi secara pasti. Iptek belum mampu memprediksi secara pasti kapan, dimana dan berapa besar gempa akan terjadi.
Jika menerima informasi akan terjadi gempa bahkan dengan spesifik mengatakan besar, waktu dan lokasi itu adalah Hoax. Jadi jangan ikut-ikutan menyebarkan di medsos.[Sap]