Kenali Bahaya Usai Makan Sahur Langsung Tidur, Ini Penjelasan Pakar
Minggu, 28 Mei 2017
Indonesiaplus.id – Biasanya orang sering menghadapi masalah asam lambung pada saat bulan puasa. Asam lambung bukan merupakan penyakit mematikan, tetapi penyakit ini bisa menimbulkan banyak komplikasi.
Meski tampaknya tak berbahaya, penyakit tetap harus menjadi sebuah peringatan, dan tak boleh dianggap remeh.
Menurut Dr. dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, ada banyak hal yang bisa memicu timbulnya refluks asam lambung, terutama di bulan puasa. Salah satunya, tidur setelah santap sahur.
“Sebagian orang Muslim yang langsung tidur setelah sahur. Hal ini dapat menyebabkan asam lambung balik arah kembali ke kerongkongan yang pada akhirnya bisa menyebabkan masalah pada saluran cerna atas mereka,” ujar konsultan penyakit lambung dan pencernaan dari FKUI/RSCM itu.
Kebiasaan buruk lain yang sering dilakukan pada saat Ramadan, yaitu makan terlalu berlebihan pada saat berbuka, diikuti dengan merokok. Kebiasaan itu sebenarnya meningkatkan risiko untuk terjadinya masalah pada lambung seperti dispepsia dan terutama, jika seseorang sudah mempunyai penyakit maag sebelumnya.
Sebaiknya ketika berbuka, kata dr. Ari, makan dengan porsi sedang. Misalnya dimulai dengan makanan ringan dalam porsi kecil, lalu menunggu hingga setelah sholat Magrib sebelum melanjutkan dengan makanan utama setelah sholat Magrib dan sebelum sholat tarawih. Tetapi tetap dengan jumlah yang tidak berlebihan.
Budaya “balas dendam” dengan berpikir untuk menggandakan makan siang dan makan malam saat berbuka harus dihindari. Membiasakan diri untuk berhenti makan dua jam sebelum tidur agar pencernaan bisa bekerja optimal.
Refluks asam lambung sering juga dikenal dengan istilah, gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan penyakit pencernaan yang paling umum terjadi di dunia yang diderita lebih dari 10-20 persen populasi orang dewasa. Sering dianggap sebagai penyakit dari Dunia Barat dan sangat sedikit literatur yang tersedia mengenai penyakit ini di Asia.
Meningkatnya obesitas dan westernisasi di Asia, prevalensi GERD meningkat dengan cepat. Dari studi berbasis populasi, prevalensi GERD berbasis gejala di Asia Timur adalah 2,5-4,8 persen sebelum tahun 2005 dan 5,2%-8,5% dari tahun 2005 sampai 2010.
Di Asia Tenggara dan Barat, prevalensimya mencapai 6,3-18,3 persen setelah tahun 2005, jauh lebih tinggi daripada angka di Asia Timur. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki data epidemiologi lengkap mengenai kondisi ini.
Gejala khas dari GERD adalah rasa panas di dada seperti terbakar dan ada sesuatu yang balik arah seperti ada yang mengganjal, atau disebut juga sebagai heartburn. Namun, kriteria GERD yang berbeda telah dipublikasikan dari seluruh dunia termasuk di Asia, dengan frekuensi gejala yang berbeda, dari seminggu sekali sampai bahkan setahun sekali. Selain itu, belum ada konsensus yang yang membedakan GERD dari dispepsia.
Kondisi heartburn berhubungan dengan GERD biasanya dialami setelah makan. Ada juga gejala GERD lainnya termasuk suara serak, radang tenggorokan, batuk kering kronis, terutama pada malam hari. GERD adalah penyebab umum batuk yang tidak dapat dijelaskan.
Tidak jelas bagaimana GERD menyebabkan atau memperparah batuk, atau bagaimana asma dan obat-obatan yang digunakan untuk mengobatinya dapat memperburuk GERD, menyebabkan peningkatan air liur mendadak, bau mulut, sakit telinga dan nyeri dada.[Mas]