Alasan Sopan Santun, Pakar Hukum: Itu Keliru dan Menyesatkan

Indonesiaplus.id – Pada Jumat (1/11/2019), Presiden Jokowi menyatakan tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jokowi beralasan tidak mengeluarkan Perppu, sebab UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK itu dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusannyna tersebut dipertanyakan sejumlah pihak.
Menurut pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti alasan Jokowi itu keliru. Sebab, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tidak bersentuhan dengan MK yang berada pada ranah yudikatif.
Sehingga, presiden memiliki hak untuk mengeluarkan Perppu sebagai sebuah keputusan politik. Sedangkan, MK wewenangnya adalah menguji konstitusionalitas sebuah produk undang-undang (UU).
“Presiden bilang menunggu MK, itu keliru dan menyesatkan. Pasalnya, itu terlalu mengada-ada,” ujar Bivitri dalam dikusi bertajuk ‘Presiden Tidak Menerbitkan Perppu, Komitmen Anti-Korupsi Pemerintah Dipertanyakan’ di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, kemarin.
Alasan kesopansantunan, kata Bivitri, dalam ketatanegaraan dipertanyakan. “Saya yakin 100 persen, mengeluarkan Perppu itu tidak akan membuat MK tersinggung. Mau jaga kesopanan apa?” tandasnya.
Sebelumnya, ketika berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jumat (1/11/2019), Presiden mengaku, tak perlu mengeluarkan Perppu saat UU KPK masih diuji di MK.
“Jangan ada orang masih berproses uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam bertatanegaraan. Kita harus hormati proses seperti itu,” ucap Jokowi.
Saat ini, penerbitan perppu didesak berbagai kalangan usai revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Dalam UU KPK hasil revisi di nilai melemahkan KPK, di antaranya karena meletakkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas KPK, dan pemangkasan kewenangan penanganan kasus.
Hal senada disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari bahwa dalih Jokowi tersebut. Menurut Feri proses revisi hingga penanganan isu pelemahan KPK syarat akan perilaku tidak sopan santun.
Tidak dilibatkannya KPK dalam proses revisi UU KPK, pengesahan UU KPK oleh sidang Paripurna DPR yang tidak memenuhi kuorum, pengabaian lima nyawa korban dalam aksi penolakan revisi UU KPK, dan penunjukan langsung anggota dewan pengawas pertama. “Jadi, saya pertanyakan adab sopan santun presiden tersebut,” tandasnya.
Bahkah, Komisi III DPR menyerahkan sepenuhnya keputusan mengeluarkan Perppu KPK kepada Presiden Jokowi. Produk UU No 19/2019 tersebut merupakan produk dari komisi yang membidangi masalah hukum, keamanan, dan hak asasi manusia tersebut.
Menurut anggota DPR Habiburokhman, keputusan Presiden Jokowi merupakan sikap bernegara yang harus dihormati semua pihak.
“Saya kira kalau beliau keluarkan Perppu kami hormati, tetapi jika tidak keluarkan kami hormati juga. Sekali lagi itu hak beliau berdasarkan konstitusi,” pungkas politisi Gerindra itu.[mus]