POLITICS

Peneliti LIPI Nilai Demokrasi Indonesia Mengalami Stagnan

Rabu, 12 Desember 2018

Indonesiaplus.id – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Harris, mengatakan, konsolidasi politik nasional menuju Pemilu Serentak 2019 cenderung sulit terwujud.

Pasalnya, para elite politik saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Kondisi ini berpotensi mengancam sistem demokrasi Indonesia tidak maju dan berkembang.

“Iya bisa dikatakan demokrasi Indonesia stagnan. Meski kebebasan sipil dan partisipasi pemilu semakin luas, kualitas demokrasi tidak kunjung lebih baik,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (11/12/2018).

Kegagalan konsolidasi politik memunculkan perpecahan politik seperti yang terjadi sekarang ini. Pembelahan itu terjadi mulai dari elite hingga level akar rumput. Seharusnya elite berperan menyatukan partai politik (parpol), kendati berlawanan. “Tentu saja ini harus diakhiri, karena jika dibiarkan berbahaya,” katanya.

Peneliti LIPI lainnya, Syarif Hidayat menilai dugaan politik transaksional dua tahun terakhir cukup kuat. Gejala itu sudah terlihat pada Pilkada Serentak 2017 dan 2018. Mereka yang terpilih dan menjabat hampir cium tangan ke bos-bos informal yang jadi investor.

Menurut Syarif, satu atau dua tahun terakhir demokrasi Indonesia hanya bertujuan citra, sementara fungsi kebebasan berpendapat itu hilang. Hasil kajian LIPI, sedikitnya empat hal dalam indeks demokrasi nasional yang patut jadi perhatian dan mendapat nilai jelek.

“Keempatnya yakni kebebasan berserikat dan berkumpul, berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan, serta pengawasan pemerintahan dan peradilan yang independen,” ungkapnya.

Dengan kondisi tersebut, maka mengakibatkan terjadinya demokrasi ilusif yang membuat pemerintahan tak berjalan efektif karena jabatan struktural dibajak parpol. Pemerintah dinilai tidak fokus karena hal-hal yang tidak perlu justru muncul ke permukaan, sehingga urusan negara terabaikan.

Pandangan lain disampaikan peneliti LIPI Sri Budi Eko Wardani, bahwa Indonesia harus tetap optimistis menatap masa depan. Menurut dia, perkembangan demokrasi Tanah Air pasca-reformasi, terdapat sejumlah kemajuan (perkembangan) yang signifikan.

Pasalnya, reformasi sudah memasuki masa transformasi saat dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian dilanjutkan Susilo Bambang Yudhoyono. Ke depan, Indonesia butuh perubahan signifikan meskipun persoalan ekonomi dan KKN masih terus menghantui.

Setidaknya ada tiga tolok ukur terkait kemajuan demokrasi yakni reformasi sistem pemilu, kepartaian, dan perwakilan politik.

Bangsa Indonesia, kata Sri, harus tetap optimistis meski gangguan, halangan, dan rintangan, tak bisa dimungkiri. Indonesia harus mampu lewati itu. “Saya rasa bukan mustahil Indonesia menjadi role model dalam beberapa tahun ke depan,” tandas Sri.

Bebarapa waktu lalu, Survei Indo Barometer menyatakan Indonesia mengalami kemajuan setelah 20 tahun reformasi. Mayoritas publik menyebut sistem demokrasi Tanah Air tepat bagi rakyat dan terus jalan menuju arah benar dan hal itu tidak luput dari adanya kebebasan berpendapat.[sap]

Related Articles

Back to top button