Elsam: Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme Harus Sesuai Konteks
Senin, 9 Oktober 2017
Indonesiaplus.id – Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus digodok di Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Hal tersebut dinilai bukan menjadi jawaban atas aksi terorisme yang saat ini sudah terjadi antarnegara.
Menurut Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar, bahwa tugas pokok TNI dalam pemberantasan terorisme tidak bisa dimasukkan ke RUU Terorisme karena tak sesuai konteks.
Tugas pokok TNI itu hanya bisa difasilitasi dengan pembuatan undang-undang baru. “TNI memang memiliki tugas pokok pemberantasan, tapi bukan dalam konteks penegakan hukum. Tugas TNI lebih pada perang atau menggempur,” ujar Djafar, akhir pekan kemarin.
Polemik keterlibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme berakhir setelah pemerintah dan panitia khusus rancangan Undang-Undang Antiterorisme di DPR menyepakati hal tersebut dicantumkan dalam UU tersebut.
Keduanya sepakat pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bukan bawah kendali operasi (BKO) lagi. Rincian persyaratan keterlibatan TNI akan dicantumkan dalam peraturan presiden (perpres) khusus.
Menurut Wahyudi bahwa pelibatan TNI dalam RUU Terorisme sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pemerintah dan DPR tinggal memperjelas hal-hal yang spesifik.
“Proses dan prosedurnya yang harusnya diatur minimal oleh PP (Peraturan Pemerintah. Siapa pegang komandonya, siapa tanggung jawab pembiayaan operasi, pertanggungjawaban kalau terjadi pelanggaran hukum, dan sebagainya,” katanya.
Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemerintah dan DPR sebaiknya membentuk undang-undang perbantuan untuk mengatur teknis pelibatan TNI. UU itu diharapkan dapat menjabarkan seberapa jauh dan dalam situasi apa militer dapat terlibat dalam operasi selain perang.
“Di sini, militer tidak bisa melaksanakan operasi mengatasi terorisme tanpa adanya keputusan presiden. Pelibatan itu pun merupakan pilihan terakhir,” terang Al Araf.
Senada dengan Wayhudi, menurut Al Araf, pembentukan perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme sebaiknya bersifat sementara, yakni untuk menghadapi situasi dan kondisi tertentu saat penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi terorisme. Pelibatan TNI ini pun harus disertai dengan tujuan yang spesifik dan jelas.
Memang DPR menargetkan revisi UU Antiterorisme rampung pada Desember. Namun, RUU Antiterorisme total membutuhkan 21 bulan masa pembahasan di DPR.
Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR Muhammad Syafi’i mengatakan, selain isu terkait peran TNI, DPR masih membahas dua isu lainnya, yakni pengawasan terhadap lembaga negara yang terlibat pemberantasan tindak pidana terorisme serta pemenuhan hak korban.
Terdapat tiga isu krusial dalam RUU Antitero-risme itu akan dipercepat pembahasannya agar selesai pada November mendatang. Perpres pelibatan TNI rencananya akan diterbitkan setelah regulasi itu disahkan.
Terkait wacana penerbitan Perpres, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan pemerintah masih menunggu draf RUU tersebut.[Mus]