Pasca Brexit Kejahatan di Inggris Bermotif Kebencian Meningkat

Kamis, 16 Februari 2017
Indonesiaplus.id – Dilaporkan rekor kejahatan bermotif kebencian meningkat di Inggris dan Wales, termasuk banyak kawasan di Midlands. Pihak kepolisian mengumpulkan laporan dari tiga perempat pasukan polisi yang dikerahkan ke dua negeri Britania pasca referendum Uni Eropa tahun lalu.
ITV, Rabu (15/2/2017) melansir, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sejumlah personel polisi mencatat kenaikan insiden termasuk di Nottinghamshire, Lincolnshire, Leicestershire, Mercia barat, Warwickshire, dan Staffordshire.
Juga, di Lincolnshire, yaitu daerah dengan suara abstain Brexit terbesar, mendapati kejahatan kebencian melejit dengan 59 persen. Sedangkan, di beberapa daerah jumlah insiden melonjak lebih dari 50 persen.
Sebuah organisasi hak asasi manusia mengatakan, pemerintah harus mempersiapkan kemungkinan lonjakan lebih tajam setelah proses Brexit dimulai.
Penelitian baru menunjukkan dalam tiga bulan yang berakhir September 2016, sebanyak 33 dari 44 pasukan polisi Inggris mencatat jumlah kuartal tertinggi kejahatan kebencian sejak pencatatan dibandingkan sejak April 2012.
Dari tiga pasukan masing-masing mencatat lebih dari 1.000 kejahatan kebencian. Hanya empat pasukan melaporkan penurunan pada tiga bulan sebelumnya. Komisi Kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (EHRC) berkata, temuan ini menyiratkan sejumlah kecil orang memakai suara Brexit “untuk melegitimasi rasisme dan prasangka yang tidak dapat dibenarkan”.
Sementara itu, badan amal Victim Support menyebut bahwa lebih perlu mendorong para korban untuk bersuara. Dari 36 daerah kepolisian, mayoritas pemilih mendukung pilihan tinggalkan (Uni Eropa) dalam referendum dan angka kejahatan rasial secara kuartal naik di semua daerah itu kecuali dua kawasan.
Di daerah dengan suara “Leave” terbesar, Lincolnshire, ditemukan kejahatan bernuansa benci terangkat mencapai 59 persen. “Kita harus bijaksana untuk mempersiapkan diri dari setiap pukulan dalam kejahatan kebencian di saat negosiasi Brexit sedang berlangsung. Sebagian besar orang yang memilih untuk meninggalkan Uni Eropa melakukannya karena mereka percaya itu yang terbaik bagi Inggris dan bukan karena mereka tidak toleran sama orang lain,” ujar David Isaac, ketua EHRC.
Jadi sangat jelas sebagian kecil orang mendompleng suara Brexit demi melegitimasi rasisme dan prasangka yang tidak bisa dimaafkan. Tentu tidak bisa membiarkan tindakan tidak toleran seperti kebencian akan dimaafkan atau berulang kembali.
Memicu Pasal 50 adalah tonggak utama berikutnya dan kita harus melakukan segala yang kita bisa demi mencegah serangan benci-membenci itu dan mendukung orang-orang yang kena risikonya,” sambungnya. Juga, dilaporkan kenaikan 6 persen dicatat oleh polisi di Staffordshire.[Fat]