CIPS Minta Pemerintah Segera Membenahi Data Pangan Nasional
Jumat, 26 Januari 2018
Indonesiaplus.id – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) minta pemerintah memprioritaskan pembenahan data pangan mengingat perbedaan data komoditas antara satu institusi dengan lainnya kerap terjadi.
Sehingga perbadaan data tersebut, sangat bisa berpotensi salah dalam mengambil kebijakan. “Pembenahan data pangan sangat penting untuk dilakukan,” ujar Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi di Jakarta, Jumat (26/1/2018).
Data pangan, kata Hizkia, yang bersumber dari satu pihak, akurat, dan diperbaharui secara berkala sangat penting untuk menentukan kebijakan pangan yang akan diambil pemerintah.
Perbedaan data tidak juga menemukan solusi dan malah berulang lagi dan permasalahan kembali dibahas seiring dengan kebijakan impor yang diambil pemerintah terhadap suatu komoditas.
Tidak hanya sebagai dasar pengambilan kebijakan, data pangan yang bersumber dari satu pihak dan akurat juga penting untuk mengukur produktivitas pangan, mengidentifikasi daerah-daerah penghasil komoditas pangan, dan mengetahui kondisi petani.
“Ketidakakuratan data pangan di Tanah Air sudah sering disuarakan sebagai salah satu penyebab permasalahan penanganan pangan,” ujar Hizkia.
Perbedaan tersebut sering disebabkan beberapa hal, seperti parameter pengambilan contoh yang sudah usang, ketidakcermatan enumerator juga ketidakakuratan data atau jawaban dari narasumber.
“Panjangnya distribusi data dari tingkat desa hingga ke pusat juga berpotensi menimbulkan ketidakakuratan,” katanya.
Terbaru perbedaan data terkait mengenai produksi garam, antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Perindustrian. Data Kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti, Indonesia memiliki persediaan garam nasional 394.505 ton, kebutuhan garam 3,98 juta ton dan perkiraan produksi 1,5 juta ton.
Dari data tersebut, Kementerian Kelautan merekomendasikan impor garam 2,133 juta ton. Sedangkan Kementerian yang dipimpin Airlangga Hartarto menyebutkan jumlah kebutuhan impor 3,77 juta ton.
“Tentu jadi masalah, Indonesia baru mau mengimpor kalau sudah ada data produksi pangan dalam negeri tidak cukup, sebab data tidak akurat maka pengambilan keputusan terkait impor juga tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri,” katanya.
Pembenahan data pangan bukan merupakan satu-satunya solusi untuk mengatasi tingginya harga kebutuhan pangan. Dengan melihat kondisi ini, lanjutnya, pemerintah seharusnya lebih fleksibel dalam mengambil kebijakan.
Jika pemerintah mengandalkan data untuk pengambilan kebijakan terkait impor, secara logika hal ini sudah gugur dengan sendirinya karena data pemerintah ternyata tidak akurat. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menyerahkan pada mekanisme pasar.[Sal]