POLITICS

Waki Ketua DPR: Ekonomi Morat-marit Tak Mungkin Pindah Ibu Kota

Sabtu, 8 Juli 2017

Indonesiaplus.id – Saat ini, pemindahan ibu kota dari Jakarta dinilai tidak tepat. Sebab, perekonomian Indonesia masih morat-marit.

“Ketahui kemapanan dan kemampuan finansial saat ini, ekonomi saat ini cukup morat-marit,” ujar Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agus Hermanto di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Pada era Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono pertumbuhan ekonomi 6 persen-7 persen. Sekarang di era Presiden Joko Widodo pertumbuhan ekonomi hanya berkisar di angka empat persen, bahkan paling tinggi lima persen.

“Saya kira pemindahan ibu kota di saat dekat tidak tepat,” tegas Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.

Terkait wacana pemindahan ibu kota sudah ada sejak era Presiden RI Pertama Soekarno, SBY, hingga Joko Widodo. Pertimbangannya adalah jika pusat pemerintahan dan perekonomian dipisah maka Indonesia akan lebih tertata.

Kalau ada rencana pemindahan ibu kota di pemerintahan saat ini, maka yang harus dipikirkan adalah perencanaan matang, buku biru, cetak biru, peta jalannya. Semuanya harus disampaikan mepada DPR untuk dipertimbangkan. Perencanaan pun harus matang dan melihat dengan kemampuan finansial saat ini.

“Harus dihitung mampu apa tidak? Dalam kondisi ekonomi dan finansial saat ini, kita tidak mampu. Perencanaan bagus, namun pelaksanaannya di saat dekat tidak tepat,” katanya.

Pemerintah harus memiliki kemapanan di perekonomian dan kemampuan finansial. Sekarang utang saja semakin banyak. “Selama dua tahun pemerintahan Jokowi utangnya sama dengan 10 tahun SBY. Ini menunjukkan kita belum mapan ekonomi,” kritiknya.

Terlebih daya beli masyarakat menengah ke bawah masih rendah. Kalau dibiarkan ini tentu mengkhawartirkan. Masyarakat tidak bisa konsumsi produk dan jasa dalam negeri.

Dampakanya jelas industri bangkrut, lalu muncul pemutusan hubungan kerja (PHK). “Ini akan (membuat Indonesia) semakin terpuruk,” terangnya.

Perpindahan itu menggunakan keuangan cukup tinggi. Saat itu dengan pertumbuhan 7 persen saja Indonesia merasa tidak cukup memenuhi pemindahan ibu kota. “Apalagi sekarang yang hanya empat sampai lima persen,” ungkapnya.

Wacana pemindahan ibu kota sempat pula mencuat di era SBY. Ada tiga opsi yang ditawarkan saat itu. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total.

Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Ketiga, dibangun ibu kota baru, seperti Canberra, Australia dan Ankara, Turki.[Mus]

Related Articles

Back to top button