NATIONAL

JAP Minta KPK Harus Cermat dan Objektif Tangani Perkara BLBI

Sabtu, 23 Juni 2018

Indonesiaplus.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya cermat dan objektif dalam menangani perkara dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sebab, potensi ketidakcermatan dalam menempatkan pihak yang bersalah (error in persona) dalam perkara itu amat besar. Hal itu disampaikan Jaringan Advokat Publik (JAP) Indonesia.

KPK harus memperdalam dugaan pelanggaran oleh pihak Menteri Keuangan, terutama yang berkaitan dengan periode penyelesaian kewajiban berupa penjualan aset-aset milik para debitur.
Sepatutnya, para pejabat Kementerian Keuangan yang berwenang dan diduga melakukan pelanggaran, segera diproses hukum.

“Harus lebih cermat dan objektif, jangan sampai salah dalam menetapkan kesalahan hukum pada seseorang (error in persona),” ucap Koordinator JAP Indonesia, Moin Tualeka dalam siaran persnya Sabtu (23/6/2018).

Saat ini, kata Moin, mencermati perkara yang tengah diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Dia didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjorojakti, pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih S. Nursalim melakukan pelanggaran sehubungan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim.

Sjamsul dan istrinya belum pernah diperiksa sejak kasus ini diselidiki oleh KPK. Kendati demikian, Moin berpendapat, perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin sangat erat berkaitan dengan wewenang pejabat dan lembaga lain, terutama Kementerian Keuangan.

“Karakteristik perkara itu kental dimensi perdata, karena berkaitan perjanjian kredit antara petani tambak dan BDNI yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM),” katanya.

Fakta selanjutnya, BDNI menyerahkan aset senilai Rp 4 triliun kepada BPPN untuk menyelesaikan kewajiban. Ketika BPPN berakhir masa tugasnya pada 2004 dilakukan penyerahan aset kepada Kementerian Keuangan, yang selanjutnya melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA), menjual aset tersebut. Menurut audit investigatif BPK tahun 2017, aset itu dijual oleh PPA hanya Rp 220 miliar.

Penjualan aset dilakukan saat Menteri Keuangan era Jusuf Anwar dan Sri Mulyani pada 2007. Hak tagih BPPN terhadap BDNI diserahkan pada saat Menteri Keuangan Boediono pada 2004. Boediono pernah diperiksa KPK berkaitan dengan perkara, Kamis (28/12/2017).

Berdasarkan fakta dan kronologi tersebut, Menteri Keuangan berwenang dan bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi penjualan aset dengan harga “diskon” itu.

Perlu diingat penyerahan aset merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian kewajiban BLBI atas nama Sjamsul Nursalim selaku pengendali BDNI berdasarkan kebijakan KKSK yang saat itu dipimpin Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti.

“Inti dari pokok masalahnya di situ. Berkaitan dengan penjualan aset jaminan petambak oleh PPA. Wewenang tersebut ada di pihak Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena pernah melaporkan dugaan korupsi penjualan aset perusahaan tersebut ke KPK pada 2015. PPA menjual aset Dipasena Group kepada perusahaan asal Thailand Charoen Pokphand melalui Konsorsiun Neptune pada 2007.

Enam aset Dipasena yang dijual, yaitu PT Dipasena Citra Darmaja, PT Mesuji Pratama Lines, PT Bestari Indoprima, PT Biru Laut Katulistiwa, PT Triwindu Graha Manunggal, dan PT Wahyuni Mandira.[Sap]

Related Articles

Back to top button