7 November, MK Putuskan Nasib Penghayat Kepercayaan di Kolom Agama KTP

Minggu, 5 November 2017
Indonesiaplus.id – Nasib Penghayat Kepercayaan apakah bisa masuk kolom agama di KTP atau tidak, akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan dilayangkan para Penghayat Kepercayaan di Indonesia karena merasa terdiskriminasi.
Berdasarkan jadwal sidang di laman MK, Minggu (5/11/2017), MK akan membacakan pututusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 pada 7 November 2017. Gugatan itu diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk.
Mereka menggugat UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU No 24 Tahun 2013. Pasal yang digugat yaitu Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan ayat 5. Pasal tersebut berbunyi:
Adapun keterangan kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Sedang dalam pemeriksaan sidang di MK, tak ada satu pun anggota DPR hadir menjelaskan alasan hadirnya pasal yang digugat. Adapun dari pemerintah, setuju dengan argumen penggugat.
“Negara Indonesia tidak hanya memiliki suku bangsa yang beragam, namun juga memiliki agama dan kepercayaan yang beragam,” ujar Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly.
Ada tujuh agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Kristen-Katolik, Katolik Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, di samping agama yang resmi itu, di Indonesia juga tumbuh dan berkembang keyakinan lain yang disebut dengan kepercayaan tradisional.
“Adanya diversitas agama di Indonesia, masyarakat Indonesia harus menghargai perbedaan yang ada,” ucap Yasonna-Tjahjo dalam sidang pada Desember 2016.
Dalam persidangan, hakim konstitusi Maria Farida Indrati meminta pemerintah untuk serius melihat permasalahan pengosongan kolom agama terhadap Penghayat Kepercayaan. Pasalnya, kata Maria, permasalahan itu jangan dipandang sebatas urusan administrasi belaka.
“Dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang sehingga kita harus juga melihat bahwa kenyataan itu ada, mereka ada,” imbuh guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Selain itu, dalam sidang tersebut, Ketua MK Arief Hidayat secara tegas membuat pernyataan bahwa Indonesia adalah rumah bersama.
“PNPS mengakui ada agama resmi. Kemudian, ada dari sekelompok yang asli mengatakan, ‘Lho, yang berasal dari asing malah diakui’. Kan kita tahu semua, yang keenam keyakinan atau agama itu kan asing sebetulnya, kalau kita mau jujur. Dari yang asing diakui, tapi kalau agama leluhur yang genuine yang asli Indonesia kenapa tidak diakui?” terang Arief.[Sap]