Telaah Kritis atas Permendikbud Nomor 23 Tentang Hari Sekolah*
Rabu, 30 Agustus 2017
Indonesiaplus.id – Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, telah memantik perhatian banyak kalangan.
Setelah membolak-balik membaca, menganalisis, mengkaji sehingga menjadi bosan, maka melahirkan satu pemikiran agar pemerintah bisa mengevaluasi dengan berbagai catatan yang wajib direvisi atau diganti. Baru saya setuju!
Setuju setelah menimbang: “Bahwa mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah; juga agar restorasi pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah lebih efektif, perlu optimalisasi peran sekolah; dan seterusnya.”
Jadi, menjadi penting adalah upaya penguatan pendidikan karakter ini bisa dilakukan agar peserta didik seperti yang telah lama dilakukan oleh beberapa negara maju, seperti di Amerika, Inggris Belanda, Denmark, Jepang, Singapura, serta Finlandia.
Di banyak kesempatan Mendikbud dan jajarannya sering menyampaikan, siswa tidak melulu belajar delapan jam di dalam kelas/sekolah. Namun bisa dilakukan di luar kelas baik melalui kegiatan kokurikuler maupun ekstrakurikuler, atau bisa juga disinergikan dengan Sekolah Madrasah Diniyah maupun Pesantren.
Namun sayang, peraturan hari sekolah ini faktanya di lapangan diejawantahkan dengan kewajiban siswa harus belajar full 8 jam –meskipun ada istirahatnya– di dalam kelas atau di dalam lingkungan sekolah.
Tentu saja, ini super sangat membebani dan merugikan siswa baik fisik maupun mental mereka. Sebab, menurut saya, salah kaprah jika dalam menjawab tantangan global dan penguatan pendidikan karakter solusinya dengan formalisasi dan kuantitas jam belajar siswa di kelas.
Sehingga menjadi sangat sejutu dengan Penguatan Pendidikan Karakter yang didengung-dengungkan Mendikbud melalui lima nilai utama karakter yang menjadi prioritas penguatan pendidikan karakter, yaitu religius, nasionalis, mandiri, integritas dan gotong-royong.
Sebaliknya, sangat tidak setuju jika nilai nilai karakter di atas hanya diajarkan secara formal oleh guru di ruang kelas, terlebih jika muatan jamnya sampai delapan jam sehari. Pertanyaan yang sangat sederhana kita ajukan kepada warga belajar baik guru maupun siswa, apakah meraka betah, senang dan nyaman selama 8 jam belajar di ruang kelas/sekolah?.
Selain itu, fakta di lapangan terutama kebanyakan dari siswa menjawab sangat membosankan, sangat membebani dan memberatkan. Hal ini harus diperhatikan oleh Kemendikbud jangan sampai niat baik mendidik anak bangsa agar cerdas, berkarakter dan dapat bersaing di era global ini malah dirasa dan dianggap oleh siswa sebagai bentuk “penyiksaan” (bukan pendewasaan) terhadap mereka selama delapan jam di “hotel Prodeo” (bukankah di sekolah itu seharusnya serba menyenangkan).
Bahkan, Kang Ni’am –Asrorun Ni’am Sholeh– sahabat saya Ketua KPAI ketika itu mengatakan ditambahnya jam belajar siswa tidak bisa dijawab hanya dengan mengandangkan anak di sekolah, memanjangkan waktu sekolah tanpa disertai perwujudan lingkungan yang ramah anak, justru akan memperbesar potensi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak.
Pada pasal enam Permendikbud disebutkan, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam pelaksanaan Hari Sekolah bisa dilaksanakan di dalam Sekolah maupun di luar Sekolah serta bisa dilakukan kerja sama antarsekolah, sekolah dengan lembaga keagamaan, maupun sekolah dengan lembaga lain yang terkait. Nah, lagi-lagi faktanya di lapangan penguatan pendidikan karakter hanya dilakukan di ruang kelas.
Jelas, ini bahaya jika pendidikan karakter dimaknai sebagai sebuah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus diajarkan dan dihafalkan, pendidikan karakter itu bagian dari soft skill, soft skill itu bukan diajarkan diruang formal juga tidak secara formal. Soft skill itu ditularkan melalui keteladanan dan bentuk kreatifitas, berupa attitude, leadership, communication skill, team work, emphaty, serta synergy.
Berangkat dari berbagai fakta itulah, bahwa kewajiban siswa mengikuti beban belajar selama delapan jam setiap hari merupakan akumulasi dari beban jam kerja guru yang harus terpenuhi. Bisa dipahami sesiap apapun sarana, prasarana, dan guru di sekolah dalam mengejawantahkan Permendikbud No 23 tersebut, saya kira perlu memandang sangat tidak tepat jika faktanya saat ini siswa harus belajar di dalam kelas selama delapan jam per hari.
Sekali lagi! ini sangat merugikan siswa baik dari sisi fisik, mental atau moril dan materil. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang jelas, terang benderang tidak ambigu sehingga antara aturan dan implementasi bisa seiring dan sejalan.
Misalnya, peraturan tersebut menyatakan bahwa proses belajar mengajar baik intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler di sekolah enam jam sisanya dua jam dilaksanakan oleh siswa di luar lingkungan sekolah melalui kerjasama dengan madrasah diniyah, pesantren, atau organisasi/lembaga lainnya yang mendukung proses penguatan pendidikan karakter siswa.
Kondisi seperti ini diharapkan tidak ada sekolah yang menerapkan jam belajar siswa di sekolah selama delapan jam seperti fakta saat ini. Kewajiban Guru terutama yang ASN adalah pemenuhan kewajiban 40 jam dalam seminggu alokasinya tentu tidak hanya merencanakan, melaksanakan, menilai dan membimbing pembelajaran.
Masih banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan guru sebagai tanggungjawab atas profesinya, seperti melaksanakan penelitian yang bisa dipublikasikan sebagai sumbangsih pemikiran guru dan melaksanakan kegiatan bersifat pengabdian terhadap masyarakat atau kegiatan lain yang bisa menunjang pengembangan SDM guru.
Gelombang penolakan atas lahirnya Permendikbud tersebut, saya kira arif dan bijak jika pemerintah menanggapi dengan tidak tergesa-gesa menerapkan peraturan tersebut. Sebaiknya segera mengundang dan berdialog dengan para pemangku kepentingan pendidikan untuk mencari solusi terbaik, terlebih tujuan sangat mulia Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) peserta didik.
Selain itu, harus dipahami sebuah tujuan baik jika tidak disiapkan matang dan tidak dikomunikasikan dengan baik, maka bisa jadi melahirkan kesia-siaan bahkan berdampak buruk terhadap proses pendidikan.
Merumuskan dan memutuskan sebuah kebijakan strategis yang akan berdampak luas, khususnya bagi warga pendidikan, menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintah untuk membangun dan meningkatkan sinergitas dan kolaborasi dengan semua elemen pendidikan di dalamnya.
*Heri Kuswara,MSc, Pemerhati Pendidikan dan Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama(PERGUNU)