UNHCR: 40 Persen Warga Dunia Tak Miliki Kewarganegaraan
Senin, 14 November 2016
Indonesiaplus.id – Apresiasi diberikan Badan Pengungsi PBB (UNHCR) kepada tiga negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand yang telah membantu 3.000 orang keturunan Indonesia yang tinggal di Filipina dan belum memiliki status kewarganegaraan
Pasca diluncurkan dua tahun lalu, kampanye program UNHCR yang disosialisasikan melalui media sosial dengan hashtag #iBelong, direspon baik oleh negara-negara ASEAN.
Menurut Volker Türk, Asisten Komisioner Tinggi UNHCR untuk Perlindungan, bahwa puluhan ribu orang kini tidak memiliki kewarganegaraan dapat memperolehnya dengan beberapa kebijakan baru serta inisiatif-inisiatif dalam mencapai tujuan.
“Pada lingkup kerjasama ndonesia dan Filipina merupakan contoh yang baik dan bukti nyata negara bisa bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan global ini,” ujarnya di acara diskusi panel yang digelar di Jakarta, Senin (14/11/2016).
Dari data yang dilaporkan akhir 2015, sebanyak 40 persen orang di dunia tidak memiliki kewarganegaraan, lebih dari 1.4 juta orang tinggal di Asia Tenggara. Termasuk populasi yang berada di Myanmar (diperkirakan sekitar 938,000 orang, Thailand (443,862 orang), Brunei (20,524 orang), Malaysia (11,689 orang), Vietnam (diperkirakan sekitar 11,000 orang) dan Filipina (7,138 orang).
Sedangkan data terakhir menunjukkan, sebanyak 3.7 juta orang tanpa kewarganegaraan mendiami 78 negara. UNHCR memperkirakan setidaknya 10 juta orang bisa menjadi stateless. Kondisi demikian, disebabkan karena adanya konflik hukum kewarganegaraan.
Di beberapa negara, diskriminasi hukum kewarganegaraan juga disinyalir menjadi penyebab utama seseorang mengalami statelessness. Statelessness merupakan pemasalahan yang disebabkan oleh manusia dan dapat diatasi. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah di kawasan ASEAN telah mengambil beberapa langkah konkret untuk mencoba mengurangi dan mencegah kondisi ini.
Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Filipina berhasil mengkonfirmasi 2,957 orang keturunan Indonesia, termasuk di antaranya 1.226 anak-anak yang tinggal di Mindanao Selatan. Pemerintah Thailand meminta semua wilayahnya untuk mengidentifikasi dan mengeluarkan status legal untuk pelajar tanpa kewarganegaraan.
Pada September lalu, pihak otoritas juga memperkenalkan regulasi khusus dalam Undang-undang Keimigrasian untuk membebaskan pergerakan WN yang tidak memiliki kewarganegaraan di tempat mereka tinggal, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Manee, 39, orang tua tunggal dengan 2 anak dari suku Lahu mendapatkan kewarganegaraan Thailand bulan lalu. “Saya sudah tenang dan saya akan selalu menyimpan KTP Thailand saya mulai sekarang”, ucapnya.
“Saya akan memperoleh lebih banyak hak dan saya akan menggunakan hak pilih saya dalam tiap Pemilu di mana saya dapat berpartisipasi. Saya juga bisa menemui sepupu saya ketika saya menginginkannya dan saya akhirnya dapat memanfaatkan pelayanan publik yang juga bermanfaat untuk anak-anak saya,” katanya.
Di Malaysia, lebih dari 700 orang telah diberikan status kewarganegaraannya dalam oleh Development of Human Resources in Rural Asia. “Di Asia Timur dan Pasifik, kami melihat banyak anak yang tidak memiliki kewarganegaraan dan tidak dapat memperoleh hak-hak dasar mereka,” ucap Penasihat Perlindungan Anak UNICEF, Stephen Blight.
Sementara itu, di wilayah regional, ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children menyetujui proyek kewarganegaraan untuk perempuan dan anak-anak, serta pembangunan komunitas ASEAN dalam rencana kerja periode 2016-2020.
Hal ini akan mencakup beberapa seri workshop regional dan konsultasi yang akan diselenggarakan oleh Perwakilan Vietnam untuk komisi tersebut dan UNHCR sejak 2013.
“Proyek ini akan menjadi wadah baru untuk negara-negara ASEAN dalam mengidentifikasi, untuk memperkuat kapasitas nasional dan regional dalam merealisasikan hak kewarganegaraan bagi perempuan dan anak-anak di kawasan ASEAN,” ucap Ketua ACWC sekaligus Perwakilan Indonesia untuk Hak-hak Perempuan, Lily Purba.[Mas]