Media Sosial Jadi Senjata Massif Raup Pemilih di Pilkada dan Pilpres
Senin, 22 Januari 2018
`
Indonesiaplus.id – Media sosial (medsos) menjadi sumber utama informasi publik terkait persoalan politik jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Sedangkan, media konvensional seperti televisi, koran, majalah, dan radio dinilai kurang relevan lagi.
Tren persaingan antarcalon diyakini mulai bergeser ke era digital lewat medsos, terutama menyampaikan ide serta gagasan politik. Kendati bersifat “pisau bermata dua”, keunggulan medsos diakui banyak pihak sebagai produsen informasi alternatif yang masif, cepat, dan murah.
Medsos akan difungsikan sebagai akses komunikasi oleh partai politik (parpol) atau masing-masing pasangan calon (paslon), baik di ajang pesta demokrasi lokal maupun nasional guna menjaring pemilih.
Menurut Pengamat Politik dan Media LIPI Wasisto Jati, bahwa medsos berpotensi sebagai sarana jitu meraup suara di setiap pemilihan. Framing isu di medsos dimulai ketika Joko Widodo memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012.
Media konvensional terbelenggu konglomerasi politik karena mayoritas dimiliki sekelompok elite yang terafiliasi dengan kepentingan tertentu.
“Itu yang membuat media konvensional kurang relevan sehingga bergeser ke medsos. Berkaca dari Pilgub DKI yang memenangkan Joko Widodo, penggunaan medsos sangat potensial untuk meraih suara dukungan masyarakat pemilih,” ujar Jati, Minggu (21/1/2018).
Kendati demikian, kuantitas suara dan dukungan dari medsos sulit dihitung akurat, peran dunia maya cenderung efektif mengantarkan seorang pemilih menentukan paslon maupun parpol di bilik suara.
Fenomena penggunaan medsos di Tanah Air sangat berbeda dengan dunia internasional. Mereka menggunakan akses internet untuk membahas sejumlah kejahatan. “Di dunia internasional, isu medsos fokus membahas kejahatan seperti pornografi anak, prostitusi hingga perdagangan manusia. Di Indonesia persoalan itu hilang digantikan hatespeech, hoaks dan fitnah,” katanya.
Data Bareskrim Mabes Polri, 40 persen kejahatan siber di Indonesia sepanjang 2017 terafiliasi dengan politik identitas seperti isu SARA, hoaks, dan fakenews. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon memprediksi angka kejahatan bakal dominan di tahun politik 2018-2019.
Namun bisa jadi, parpol akan melakukan structure political campaign demi meraih simpatisan masyarakat. “Petahana (Joko Widodo) masih mendominasi di medsos. Peta penghitungan suara bisa terlihat ketika parpol sudah menetapkan koalisi dan calon presiden,” ucapnya.
Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, partainya belum mempersiapkan perangkat kampanye dunia digital (medsos). Meskipun sebagai partai pendatang baru, Perindo memiliki jaringan media terkuat di bawah MNC Group. Dia tidak mengelak, iklan di media berkontribusi besar bagi kampanye Perindo. Kerja partai, tampak nyata dalam menjaring mayoritas pemilih.
Sebagai penyalur informasi, peran media massa maupun media sosial (medsos) tidak bisa dihindarkan dalam kontestasi pesta demokrasi (Pilkada 2018 dan Pilpres 2019). Kedua alat yang menjadi penyalur komunikasi massa itu punya pengaruh besar dalam konteks politik elektoral yang semakin modern dengan kemajuan teknologi yang bermanfaat untuk meraih keuntungan.
Media diakui menjadi instrumen penting dalam memenangkan satu kontestasi politik. Selama masih dalam kaidah demokrasi yang sehat, sah-sah saja. Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengimbau para kandidat yang bersaing termasuk parpol pendukung, tidak melakukan praktik curang lewat penyebaran informasi di media.
“Media jangan dijadikan alat politik untuk menyudutkan lawan seperti memfitnah dan melakukan kampanye hitam yang bertujuan menjegal lawan. Pertarungan antarcalon meningkatkan elektabilitas harus dengan cara yang bersih, sehat, dan positif,” tandasnya.
Semetara itu, pengamat Politik Universitas Mercu Buana Maksimus Ramses Lalongkoe, media harus tetap berdedikasi sebagaimana fungsinya untuk masyarakat meski dipimpin elite yang berlatar dari kalangan politik. Secara substansi media massa harus jadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran.
“Media sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam masa kampanye pemilu. Biar masyarakat sendiri yang akan menilai,” tandasnya.
Sepatutnya media menyampaikan informasi sesuai fakta dan kebenaran yang terjadi. Selain itu, harus jelas hitam dan putihnya, tidak abu-abu, apalagi berada dalam lingkaran politik praktis. Jangan sampai masyarakat terjebak pada pilihan mereka imbas pemberitaan yang cenderung bernuansa fitnah (bohong), karena persoalan pemilu menyangkut masa depan bangsa. “Intinya harus independen, tidak boleh berpihak pada politik,” pungkasnya.[Mus]