Tiga Bulan Berjalan, Apa Kabar Penulisan di KTP bagi Penghayat?
Selasa, 30 Januari 2018
Indonesiaplus.id – Teknis penulisan penghayat kepercayaan dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) belum diputuskan oleh Kementerian Dalam Negeri, padahal sudah tiga bulan berjalan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui masih mempelajari opsi untuk penulisannya. “Hal ini tentu kalau tidak hati-hati, maka akan jadi isu yang sensitif,” katanya di Jakarta, Senin (29/1/2018).
Saat ini, kata Tjahjo, memang ada beberapa opsi untuk penulisannya di KTP. Seperti, agama garis miring kepercayaan (Agama/Kepercayaan:). Namun usulan ini tak disetujui oleh tokoh agama.
“Ya, memang ada tokoh agama enggak mau. Wong kepercayaan bukan agama dan agama bukan kepercayaan. Kenapa harus garis miring. Walaupun sama-sama warga negara,” katanya.
Selanjutnya ada opsi lain yakni berupa, baris agama dan kepercayaan dipisahkan. Kemudian, ada juga opsi untuk membuat KTP sendiri bagi penghayat kepercayaan.
Termasuk juga muncul opsi membuat kolom agama titik dua (Agama:) dan kolom kepercayaan titik dua (Kepercayaan:).
“Kepercayaan paling-paling 5 juta bikin cetak khusus KTP-nya. Misal kepercayaannya apa? Misal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau alirannya ditulis Sunda Wiwitan dan lain-lain ada 40-an aliran,” tandasnya.
Memang sejauh ini, pihaknya telah berkomunikasi dengan sejumlah elemen perihal memasukkan penghayat kepercayaan dalam KTP. Dia juga akan berkoordinasi dengan DPR untuk menerima masukan.
“Masukan dari tokoh agama sudah, majelis ulama sudah, Kementerian Agama sudah, tinggal kami nunggu katanya mau dipanggil DPR memberi masukan usai itu kami rapatkan di Polhukam dan lapor ke Presiden. Ini sensitif. Pilkada dulu baru ini,” ujarnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan para warga penghayat kepercayaan. MK mengabulkan gugatan tersebut karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia.
Ketua MK Arief Hidayat menganggap gugatan warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Juga, akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.[Mor]