GLOBAL

Kacaukan Kubu Oposisi, Manuver Politik Erdogan Dinilai Tepat

Jumat, 20 April 2018

Indonesiaplus.id – Langkah yang dtitempuh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dinilai tepat dengan percepatan pemilu parlemen dan presiden pada 24 Juni 2018 dari agenda sebelumnya 3 November 2019.

Demikian para pengamat politik dan media menilai dari sosok Erdogan yang berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dengan sekutu utamanya dari ultranasionalis, Partai Gerakan Nasionalis (MHP), melontarkan pukulan telak sebelum kubu oposisi berkonsolidasi.

‘’Skak-mat,” headline halaman depan koran Yeni Safak yang pro-pemerintah, Kamis (19/4).

Menurut Berk Esen -Asisten Profesor Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Bilkent, Ankara- bahwa dengan memajukan pemilu, Erdogan mengacaukan persiapan kubu oposisi yang mengancamnya.

‘’Erdogan mungkin menginginkan (percepatan) pemilu ini sebelum partai-partai oposisi mengikat kerja sama koalisi di pemilu,” katanya.

Hingga kini, partai-partai oposisi di Turki memang tampak belum siap menyongsong pemilu. Oposisi utama Partai Rakyat Republikan (CHP) belum menunjuk kandidat presiden. Sementara, kubu nasionalis pecahannya, Partai Iyi (Bagus), baru didirikan mantan Mendagri Meral Aksener pada Oktober lalu dan masih sibuk menata diri.

Sementara itu, posisi Partai Demokrasi Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi juga terus melemah menyusul penangkapan sejumlah tokoh utama. Belum lagi sentimen publik seiring operasi militer Turki melawan milisi Kurdi di Suriah.

HDP ditaksir lebih disibukkan memenuhi ambang batas perolehan 10 persen suara di parlemen ketimbang berebut posisi presiden.

Selama 15 tahun Erdogan berkuasa dengan menjabat perdana menteri (PM) dan presiden. Berdasarkan hasil referendum konstitusi pada April 2017, kekuasaan pemerintahan dan negara kini terfokus ke presiden.

Sesuai hasil referendum tersebut, presiden diizinkan menjabat hingga lima periode (lima tahun per periode).

AKP dan Erdogan dijagokan kuat memenangi pemilu 24 Juni nanti. Peluang Erdogan memasuki dasawarsa ketiga kekuasaan. ‘'(Erdogan) ingin menunjukkan ia penguasa sejati agenda politik,” ujar Dorothee Schmid, Kepala Program Turki pada Institut Hubungan Internasional Prancis (IFRI).

Efek percepatan pemilu yang diumumkan Erdogan sangat mengejutkan kubu oposisi. Terlebih, pemerintah sebelumnya menyatakan tidak berniat untuk mempercepat pemilu dari agenda sebelumnya, meski Erdogan pernah memerintahkan pemilu ulang pada November 2015 usai partainya kehilangan posisi mayoritas pada Pemilu Juni 2015.

‘’Efek kejutan ini merupakan bagian dari taktik mengontrol oposisi, di dalam dan di luar, demi memulihkan perimbangan kekuasaan seperti yang ia inginkan,” ujar Schmid.

Beberapa jam usai bertemu Ketua MHP Devlet Bahceli di Kompleks Kepresidenan, Rabu (18/4) waktu lokal atau Kamis dini hari WIB, Erdogan mengumumkan percepatan pemilu itu. ‘’Sesuai hasil konsultasi dengan Mr Bahceli, kami memutuskan pemilu digelar pada 24 Juni 2018, Hari Minggu,” ujar Erdogan.

Adalah Bahceli yang kali pertama melontarkan usulan percepatan pemilu, Selasa (17/4). Namun, usulan Bahceli pemilu bukan dimajukan dari agenda 3 November 2019 ke 24 Juni 2018, melainkan 26 Agustus 2018. Ternyata, hasil pembicaraan 30 menit dengan Erdogan justru pemilu lebih dimajukan lagi dua bulan dari usulan Bahceli.

Memimpin MHP sejak 1997, Bahceli dikenal sebagai kingmaker dalam perpolitikan Turki. Dialah pengusul percepatan pemilu pada 2002 yang mengantarkan AKP ke tampuk kekuasaan hingga kini.

Potensi ancaman lain bagi Erdogan dan AKP yang memicu percepatan pemilu adalah ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Turki tercatat 7,4 persen pada 2017, tetapi inflasinya dua digit serta terjadi defisit lebar transaksi berjalan. Turki butuh restrukturisasi utang sejumlah perusahaan besar.

Namun, jika gagal diwujudkan dalam dua tahun terakhir ini, 2018 dan 2019, ia akan menyulitkan Erdogan. ‘’Tidak diragukan keputusan (percepatan pemilu) ini lebih karena tekanan ekonomi serta keprihatinan yang terkait bakal mengerosi popularitas AKP dan Erdogan selama 2018 dan 2019,” kata Anthony Skinner, Direktur MENA pada lembaga konsultan global Verisk Maplecroft.

Ada faktor lain penekan percepatan pemilu adalah hasil referendum konstitusi April 2017 yang disetujui ‘’hanya” 51,4 persen. Dengan perolehan suara itu, kata Deputi Direktur IFRI Didier Billion, pemilih yang berhasil ‘’digoda” Erdogan hanya 1 persen lebih. Mereka kecewa dan kekecewaannya berpotensi membesar, lantas meninggalkan Erdogan yang dirasakan semakin otoriter. ‘’Ia (Erdogan) mungkin akan kehilangan suara,” pungkasnya.[Fat]

Related Articles

Back to top button