POLITICS

Pengamat: Ditolak Masyarakat, Tunda Sahkan RUU KUHP Lebih Baik

Indonesiaplus.id – Kuatnya penolakan dari masyarakat membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan dengan meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP.

Pengesahan RUU KUHP tidak dilakukan pada periode DPR sekarang dan Presiden meminta Menkumham Yasonna Laoly menjaring berbagai masukan dari masyarakat untuk menyempurnakan RKUHP.

“Protes terus bermunculan di tengah masyarakat belakangan ini merupakan akumulasi dari kemarahan masyarakat atas kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam membuat undang-undang (UU), ” ujar pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin di Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Bila protes yang muncul tidak direspons dengan baik oleh pemerintah maka tidak menuntut kemungkinan akan semakin menjadi-jadi.

“Jelas masyarakat kecewa dengan RUU KPK menjadi undang-undang. Sebeumnya, kecewa atas pengesahan RUU MD3 yang hanya menguntungkan DPR. Akumulasi itu jangan sampai ditambah lagi dengan pengesahan UU KUHP itu,” katanya.

Sikap Jokowi meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP sebagai sikap yang tepat, karena jika tidak dihentikan maka rakyat akan semakin marah.

“Masyarakat mendelegitimasi terkait kepercayaan terhadap pemerintah. Kemarin jelas melihat kasat mata masyarakat menolak revisi UU KPK, tapi pemerintah dan DPR memaksakan disahkan,” katanya.

Di dalam RUU KUHP ini ada pasal yang terkait langsung dengan diri presiden yakni pasal penghinaan, dimana pasal ini sudah pernah diujikan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dibatalkan oleh MK.

“Pemerintah dan DPR terburu-buru memaksakan ingin membentengi diri agar ke depan masyarakat tidak keras mengkritik terhadap dirinya. Berbahaya karena ini pasal karet yang menjadi kritikan masyarakat, tapi tidak dihiraukan,” ungkapnya.

Sebaiknya pengesahan RUU KUHP yang akan disahkan dalam Rapat Paripurna, Senin (24/9/2019) dibatalkan.

“Bila perlu Jokowi membatalkan saja (pasal penghinaan terhadap presiden) karena hemat saya dalam konteks demokrasi sudah sangat jelas tidak perlu dibahas karena MK sendiri sudah membatakan terkait persoaan tersebut, ” tandasnya.

Sejak awal, pasal penghinaan terhadap presiden menjadi kritikan tajam kepada Jokowi. Sehingga, jangan sampai pemerintahan era Jokowi ini karena banyak persoalan, misalkan maraknya korupsi dan lain-lain lalu yang dibunuh adalah KPK.

Terkait persoalan masyarakat mengkritik keras kepada presiden, kemudian dalam RUU KUHP disisipkan pasal penghinaan terhadap presiden.

“Inilah sebenarnya membuat publik marah. Kemarin mahasiswa yang jarang berdemonstrasi turun ke jalan di DPR, meminta menunda itu. Jika kemarahan terakumulasi terus-menurus, pemerintah terus memaksakan proses

ketidakpercayaan publik kepada Jokowi akan semakin besar dan itu berbahaya bagi pemerintahannya,” tuturnya.

Sebuah UU adalah produk yang seharusnya dihasilkan dengan kualitas tinggi dan mutu yang bagus. Tapi ketika segala sesuatunya dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang baik dan cenderung memaksakan maka dalam praktiknya akan terjadi “deal-deal” politik atau kongkalikong.

“Sesuatu dibahas terburu-buru tidak secara sistematis akan menghasikan produk yang jelek. Produknya tidak menguntungkan rakyat. UU KPK menguntungkan pemerintah dan DPR karena ingin mengamankan diri, tapi membutuh KPK. RUU KUHP juga ingin menguntungkan pemerintah karena ini di dalamnya terkait hak presiden agar tidak terkena penghinaan. Ini kan menjadi persoalan bagi rakyat,” ungkapnya.

Pemerintah tidak boleh sembarangan dalam membuat dan mengesahkan produk UU, hal ini justru menjadi tidak baik bagi sejarah Parlemen periode 2014-2019.

“Jangan sampai mereka dicatat dalam sejarah sebagai Parlemen yang suul khatimah (akhir perjalanan yang buruk). Inikan menjadi tidak baik. Di akhir masa tugas membuat kebijakan yang tidak baik,” tegasnya.[mus]

Related Articles

Back to top button