POLITICS

INDEF: Waspadai Misi Belt Road Iniative China Bisa Timbulkan Debt Trap

Ahad, 12 Mei 2019

Indonesiaplus.id – Pemerintah Indonesia harus mewaspadai investasi besar-besaran Cina di Indonesia dalam misi Belt Road Iniative (BRI). Pasalnya, investasi itu dapat menimbulkan debt trap atau jebakan utang.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Moh Zulfikar menilai bahwa Cina telah melakukan beberapa cara untuk mendapatkan simpati dari negara-negara dalam proyek BRI.

Penggunaan prinsip B2B (Business to Business) digunakan oleh Cina untuk BRI membuat negara-negara yang terkena dampak merasa bahwa mereka hanya berhadapan dengan ‘aktor-aktor kecil dari Cina’.

Dalam struktur ekonomi Cina, perusahaan-perusahaan Cina adalah BUMN yang mana pemerintah masih bermain peran. Jika memang perusahaan privat bermain, mereka biasanya dipimpin oleh orang-orang yang masih punya keterkaitan dengan Partai Komunis Cina.

“Saya pribadi tidak begitu terbuai dengan pendapat Cina terkait perjanjian Indonesia dengan Cina dalam konteks BRI adalah B2B. Masih ada kemungkinan adanya debt trap meskipun perjanjian dilakukan secara B2B,” ujar Zulfikar dalam diskusi dengan media, Sabtu (11/5/2019) malam.

Strategi BRI lainnya, adalah strategi promosi melalui budaya (cultural exchanges). Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis di dokumen resmi BRI.

Strategi budaya ini mulai meningkat sejak beberapa tahun belakangan ini. Seperti berdirinya China-Indonesia Cultural Forum pada Januari 2019 dan Partai Komunis China melakukan pertukaran budaya melalui BRI di Bali, pada September 2018.

Kabarnya Cina berencana untuk membangun Confucius Institute di beberapa tempat di Indonesia, yang beberapa sudah dibangun. “Tapi perlu dicatat berbagai strategi ini masih dalam tahap awal di Indonesia. Perkiraan ke depan ini akan meningkat seiringnya berjalannya waktu,” urainya.

Kondisi seperti ini ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mempelajari tentang Cina, motif, dan strateginya seperti apa, sehingga Indonesia tidak salah dalam membuat kebijakan atau respons.

Lalu, kedua, Indonesia perlu sadar sebenarnya Cina yang lebih butuh Indonesia bukan sebaliknya. Berdasarkan peta BRI, jalur laut BRI memang direncanakan melewati Indonesia.

Perlu diingat bahwa Indonesia memiliki posisi strategis dalam rencana Cina. Artinya, rencana untuk menghidupkan jalur sutra kembali tidak akan terwujud tanpa peran Indonesia.

“Langkah kedua adalah kita harus lebih berani untuk berhadapan dengan Cina. Istilahnya ‘Jangan Nrimo Aja’,” tandasnya.

Seperti Malaysia, sudah membuktikan mereka bisa bernegosiasi dengan Cina. Begitu juga dengan Arab Saudi melalui proyek YASREF di Laut Merah, di mana perjanjian yang dilakukan dengan Cina adalah 63:37 dan Arab Saudi memiliki kontrol dan peran yang lebih strategis.

Bagi Indonesia, keberanian dapat dilakukan untuk menegosiasi jangka waktu pembayaran utang. “Jangka waktu pembayaran tersebut sebenarnya bisa dinegosiasi sehingga kita tidak terkena debt trap,” katanya.

Selain itu, pemerintah harus pandai mengarahkan investasi Cina ke sektor-sektor yang dapat menguntungkan bagi kita atau dapat kita ekspor ulang seperti pertanian. “Cina lagi gencar di sektor Islamic Finance. Ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menandaskan bahwa adanya dominasi Cina dalam ekonomi Indonesia, baik dari sisi investasi dan perdagangan sulit untuk ditolak. Namun sepanjang itu menguntungkan bagi Indonesia diperbolehkan.

“Jadi, apabila ada investasi yang dilakukan hanya untuk pasar Indonesia, maka itu yang unfair atau tidak adil, sehingga perlu didorong investasi pada industri yang berorientasi ekspor,” ujar Tauhid.

Sedangkan dari perdagangan, jika Indonesia tidak bisa surplus maka ini akan menkhawatirkan ekonomi Indonesia. Tak pelak dominasi Cina bagi ekonomi kita memang bisa dianggap berlebihan.[mus]

 

Related Articles

Back to top button