POLITICS

ICW: Mahar Politik Picu Praktik Korupsi di Lingkaran Kepala Daerah

Rabu, 11 Oktober 2017

Indonesiaplus.id – Peneliti ICW Donal Fariz menilai bahwa politik transaksional berujung permintaan uang terhadap kader yang diusung, memicu terjadinya praktik korupsi karena harus mencari untuk mengembalikan pundi-pundi rupiah.

Persoalan mahar politik telah membudaya di lingkaran partai politik (parpol), terutama jelang pencalonan baik dalam ajang pilkada maupun pemilu.

“Korupsi di lingkaran kepala daerah mayoritas dilakukan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan sebagai mahar politik kepada partai yang mengusung,” ujar Donal, Selasa (10/10/2017).

Tidak heran, kata Donal, jika Dedy Mulyadi dimintai Rp 10 miliar oleh Partai Golkar agar bersedia mengusungnya maju pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018. Penindakan terhadap orang atau pihak yang terbukti melakukan politik transaksional, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang patut turun tangan karena dianggap berwenang.

Siapa lembaga yang berwenang menindak persoalan mahar politik belum diatur secara spesifik. Setidaknya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa memberi peringatan terhadap partai atau orang yang melakukan hal tersebut sebagai upaya pencegahan. Caranya, bisa memberikan informasi kepada publik agar memutuskan tidak memilih partai atau calon tersebut.

Kemarin KPK beraudiensi dengan Bawaslu, dengan tujuannya untuk menciptakan pelaksanaan pesta demokrasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 berintegritas, menyusul banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT belakangan ini atas dugaan praktik suap maupun korupsi.

Praktik rasuah yang melibatkan kepala daerah dinilai akibat tingginya biaya politik yang dikeluarkan ketika masa kampanye.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, komisi antirasuah dan Bawaslu tidak memiliki kewenangan luas terkait penindakan terhadap calon atau bakal calon kepala daerah yang maju dalam pilkada. Itu karena, unsur pimpinan parpol bukan termasuk penyelenggara negara. Saut berharap, UU KPK direvisi, mengatur penindakan terhadap pimpinan parpol yang terbukti meminta mahar politik.

“Sebaiknya UU KPK diubah, menjadikan unsur pimpinan parpol sebagai penyelenggara negara, sehingga bisa ditindak ketika ditemukan politik transaksional berupa mahar,” ujar Saut.

KPK akan berbagi informasi dengan Bawaslu guna memaksimalkan aspek pengawasan dan pencegahan mengenai politik transaksional. Riset KPK pada Pilkada 2015 dan 2017, kebanyakan pemenang yang memiliki LHKPN lebih besar, sementara yang kalah asetnya malah minus.

Ini menuai pertanyaan, dana kampanye yang diperoleh, benar hasil sumbangan atau mahar?
Ketua Bawaslu RI Abhan menyatakan, lembaganya terus memaksimalkan upaya pengawasan dan pencegahan terhadap politik transaksional atau mahar jelang tahun pemilu.

Terkait pelanggaran administratif, mutlak kewenangan Bawaslu. Namun, menyangkut penindakan pelanggaran pemilu, Bawaslu bekerja sama dengan penegak hukum kepolisian dan kejaksaan.[Mus]

Related Articles

Back to top button