Geprindo: Jokowi Diminta Fokus Urus Hutang dan Polisi Jangan Lebay Tangani Saracen
Rabu, 30 Agustus 2017
Indonesiaplus.id – Presiden Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo) Bastian P Simanjuntak meminta pemerintah dan aparat penegak tidak bersikap dan bertindak berlebihan terkait dicuatkannya kasus saracen.
Pola seperti ini sudah lama terjadi dan kini pemerintah dianggap hendak menyasar musuh-musuh politik semata, serta membiarkan para pendukungnya yang juga melakukan massifikasi pemberitaan hoax.
“Untuk kasus saracen, pihak aparat hukum dan pemerintahan Jokowi terlalu mendramatisir dan mencoba mengalihkan isu saja. Sebaiknya Presiden Jokowi fokus mengawasi hutang saja sana,” ujar Presiden Geprindo Bastian P Simanjuntak dalam siaran persnya, Senin (28/08/2017).
Dari pengamatannya, pengungkapan kasus saracen yang akhir-akhir ini marak diberitakan oleh media-media yang ada di Indonesia, sangat tidak proporsional.
“Media memberitakan pesawat Saracen adalah sebuah sindikat yang besar dengan 800.000 akun yang kerjaannya menyebarkan kebencian menggunakan SARA, juga menyebarkan gambar-gambar yang menghina presiden,” katanya.
Sebenarnya kasus saracen hanyalah kasus biasa-biasa saja. Sebab, pembentukan opini melalui sosial media sudah berlangsung sejak tahun 2014. Bukan social media saja yang secara masif mewartakan berita-berita yang memiliki tujuan tertentu, tidak kalah dustanya media maintream melakukan hal yang sama, seringkali mengeluarkan berita yang menguntungkan satu pihak dan juga sekaligus merugikan pihak lain.
“Sejak tahun 1998 pemberitaan hoax juga sudah terjadi dimana masyarakat di giring opininya,” ucapnya.
Kendatipun selama ini, kata Bastian, media-media mainstream seringkali memanipulasi berita untuk tujuan-tujuan tertentu. Berita yang disajikan pun tergantung dari para pemilik media yang selama ikut-ikutan berpolitik memerintahkan pimpinan redaksinya memuat berita yang tidak netral, seperti Kompas, Metro TV, detik.com, BeritaSatu, dicurigai sebagai media yang pro kepada pemerintahan dan anti kepada kelompok Islam.
“Kita masih ingat kejadian reporter Metro TV yang diusir oleh kerumunan pendemo pada aksi 212, reporter Metro TV diteriaki oleh pendemo sebagai Metro Tipu. Julukan Metro Tipu muncul akibat Metro TV tidak mewartakan berita secara seimbang dan bahkan seringkali memelintir berita untuk kepentingan tertentu. MetroTV dianggap sebagai media televisi yang sering memberitakan berita bohong atau hoax,” terang Bastian.
Selain stasiun televisi yang memberitakan berita hoax, ada juga media online yang selama ini sering menghina pihak-pihak yang tidak Pro kepada pemerintah. Contohnya, kata dia, seperti seword.com dan Gerilyapolitik.
“Mereka seringkali mengumbar hal-hal yang berbau SARA di sosial media, yang menghina tokoh-tokoh Islam. Namun sayangnya pihak kepolisian sampai dengan saat ini tidak pernah menangkap redaktur seword.com maupun Gerilyapolitik. Padahal sebenarnya pemilik seword.com pernah mengungkapkan ia merupakan penulis freelance dengan berita-berita yang kontroversial yang juga dibayar oleh pihak pihak ketiga,” tandasnya.
Bastian menyarankan agar Presiden Jokowi tidak perlu mendramatisir kasus saracen. “Berhentilah mencari kambing hitam, fokus kepada hal-hal yang lebih penting. Dua setengah tahun hutang Indonesia bertambah 1000 triliun rupiah, jadi sebaiknya Jokowi lebih fokus mengawasi penggunaan hutang tersebut,” pintanya.
Bisa dibayangkan, jika hutang sebesar itu dikorupsi 5 persen saja kerugian negara bisa mencapai 50 triliun rupiah. Kasus saracen kasus sepele tidak perlu dibesar-besarkan. Sehingga, polisi tidak terlalu mudah menangkap pegiat sosial media karena bisa menimbulkan perasaan takut dalam berekspresi di tengah era digital seperti saat ini.
“Namun, jika dianggap halaman facebook membahayakan diblokir saja, tidak perlu ditangkap atau dicari-cari lagi orang-orang yang tergabung di dalam facebook itu karena hanya buang-buang waktu saja,” tegasnya.
Khusus terkait dengan pengusutan saracen, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, dorongan masyarakat membuat Kepolisian RI akan bekerja lebih optimal dalam penanganan kasus itu.
Salah satunya menambah jumlah penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. “Kalau ada dua atau tiga orang, akan ditambah. Apakah (diperbantukan) pakai unit lain atau dari mana,” ujar Martinus di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Kasus Saracen tidak sesederhana yang dibayangkan. Kelompok tersebut membuat 800.000 akun di media sosial yang pelacakannya butuh waktu dan tenaga ekstra. Penyisiran harus dilakukan satu persatu di akun-akun yang rata-rata palsu tersebut.
“Akan optimal dengan menambah personel, kemudian komunikasikan dengan stakeholder, Kemenkominfo, operatornya, dan dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” katanya.
Dalam kasus ini, polisi menetapkan JAS, MFT, dan SRN sebagai tersangka. Mereka menggunakan beberapa sarana untuk menyebarkan ujaran kebencian berkonten SARA.
Hingga saat ini diketahui jumlah akun yang tergabung dalam jaringan Grup Saracen lebih dari 800.000 akun.
Saracen mengunggah konten ujaran kebencian dan berbau SARA berdasarkan pesanan. Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut semata alasan ekonomi.
Para pelaku menyiapkan proposal untuk disebar kepada pihak pemesan. Setiap proposal ditawarkan dengan harga puluhan juta rupiah. Hingga kini, masih didalami siapa saja yang memesan konten atau berita untuk diunggah di grup maupun situs Saracen.[Mus]