Dana Gelap Sulit Dilacak, Bagaimana dengan Sanksinya?
Kamis, 3 Januari 2019
Indonesiaplus.id – Terkait dana kampanye peserta Pemilu 2019 transparansi menjadi hal yang sangat penting. Salah satu perkara yang patut diperhatikan adalah dana gelap yang tidak dilaporkan karena faktanya sulit dipantau.
“Sulit dilaporkan dana kampanye yang sering digunakan untuk politik uang karena dipantau. Perlu diperhatikan, dana gelap yang tidak dilaporkan,” ujar analis politik Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin Rabu (2/1/2019).
Untuk dana kampanye yang sudah dilaporkan mudah dilacak karena berstatus dilaporkan ke KPU. Sedangkan transparansi selalu terkait dengan kejujuran peserta pesta demokrasi dalam melaporkan dana kampanye sesuai yang mereka terima.
Data tim sukses kedua capres dan cawapres menunjukkan angka hampir sama di Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
Hingga 1 Januari 2019, Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencatatkan LPSDK sebesar Rp 55,9 miliar. Jumlah itu termasuk Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) di kisaran Rp 11 miliar. Sedangkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melaporkan LPSDK sebesar Rp 54 miliar.
“Jumlah itu meningkat jauh dari LADK yang hanya Rp 2 miliar, ” ungkap Ujang
Menurut peneliti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Andrian Habibie, dana kampanye yang tidak terlacak biasanya diberikan pihak ketiga secara pribadi ke peserta pemilu.
Peserta pemilu berhak memiliki dana kampanye tak terbatas dengan syarat dari kemampuan sendiri. Berdasarkan pengalaman, peserta pemilu hanya melaporkan 30 persen dari total dana kampanye.
“Dana kampanye diserahkan langsung kepada paslon atau parpol ketimbang didaftarkan sebagai ‘sumbangan pihak ketiga’ yang sah secara hukum. Ini yang sulit terlacak,” katanya.
Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin berjanji mencermati LPSDK dalam tujuh hari ke depan. Ada tiga faktor yang akan diperhatikan Bawaslu secara berjenjang. Soal batasan jumlah sumbangan, menurut aturan, batasan perorangan Rp 2,5 miliar dan sumbangan perusahaan atau lembaga sebesar Rp 25 miliar.
“Identitas penyumbang harus diperiksa terkait jumlahnya berapa, identitasnya siapa kemudian apakah syaratnya terpenuhi. Jika terdapat kekurangan dan keganjilan, kami akan sampaikan ke publik. Kami butuh waktu sepekan untuk memastikan semua laporan ini,” tandasnya.
Kemarin, KPU RI menerima LPSDK peserta Pemilu 2019 di Gedung KPU RI, Jakarta. LPSDK digelar berjenjang sesuai tingkatan mulai dari kabupaten dan kota, provinsi, hingga nasional. LPSDK merupakan tahapan kedua pelaporan dana kampanye. Tahapan pertama LADK telah dilakukan KPU periode Agustus 2018.
LPSDK merupakan pelaporan tahap kedua yang diikuti Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) setelah pemilu selesai.
Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan, LPSDK hanya formalitas untuk melihat ketaatan peserta pemilu melaporkan dana kampanye. Yang harus menjadi perhatian dalam proses dana kampanye adalah LADK dan LPPDK.
“Jadi kalau ada yang tidak melaporkan (LPSDK), tidak ada sanksi atau diskualifikasi. Kalau di laporan awal (LADK) peserta tidak menyerahkan tepat waktu, bisa didiskualifiasi. Lalu jika di LPPDK tidak melapor, bisa dikenai sanksi yaitu keterpilihannya bisa dibatalkan,” tuturnya.
Arief menandaskan, yang menjadi fokus pada LPSDK adalah nominal sumbangan pihak luar terutama peruntukan dan proses mengalirnya dana kampanye. Berdasarkan Pasal 203 Ayat 2 UU No 7 Tahun 2017, terdapat tiga sumber dana kampanye yaitu paslon, parpol atau parpol pengusung atau calon, serta sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
“Iya, semua akan kami lihat di akhir (LPPDK). Sebagai contoh, di LPSDK ada sumbangan Rp 1 miliar, nanti kami cek dan periksa ke mana saja serta untuk apa dana tersebut dialirkan,” pungkasnya.[mus]