Esensi Tradisi Mudik Lebaran Menurut Para Ulama

Jumat, 8 Juni 2018
Indonesiaplus.id – Tradisi tahunan mudik ke kampung halaman menjelang hari raya Idul Fitri. Namun, apa sebenarnya esensi dan substansi dari tradisi tersebut?
Menurut Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Amlir Syaifa Yasin bahwa esensi tradisi mudik tahunan ini adalah untuk bersilaturrahmi kepada sanak keluarga. Sehingga tradisi ini menjadi memontum agar kota tidak lupa terhadap keluarganya.
“Jadi, esensi mudik ini tentu silaturrahmi dengan keluarga karena sudah lama tak jumpa. Sekali setahun minimal kan Idul Fitri momentum ketemu sanak famili,” ujar Amlir, Jumat (8/6/2018).
Tradisi mudik ini, juga melepas kerinduan kepada teman-teman sejawat saat masa kecil dulu. Bahkan, dalam tradisi ini umat Islam biasanya menjadikannya sebagai ajang untuk berbagi rezeki.
“Di samping melepas kerinduan bisa juga berbagi rezeki yang barangkali yang dari rantau mungkin ada kelebihan rezeki dibagi-bagi pada keluaga sanak famili di kampung halaman,” katanya.
Kendati demikian, ada koridor syar’i yang harus diperhatikan dalam tradisi mudik ini. Di antaranya, pemudik yang datang dari kota tidak boleh menebar kesombongan ataupun pamer atas keberhasilannya.
“Namun terpenting tidak berlebih-lebihan ataupun berfoya-foya. Lalu, jangan sampai kita ke kampung halaman memerkan kelebihan kita dengan orang lain di kampung,” tandasnya.
Sementara itu, tradisi mudik memiliki hal positif bagi sanak keluarga yang mungkin belum mendapatkan sumber penghasilan di kampung. Sebab, sanak keluarga yang belum mendapat pekerjaan itu nantinya bisa dibantu untuk mendapatkan kerja di kota.
“Saya kira itu hal-hal yang baik saja sebenarnya kan untuk meningkatkan kapasitas keluarga,” terangnya.
Agar mudik memberikan keberkahan dan manfaat bagi semua orang, maka semua pihak harus membantu agar ekonomi juga merata ke daerah masing-masing. Misalnya, dengan membelanjakan hartanya di daerah untuk saling saling berbagi.
Sekretaris Lembaga Ta’ mir Masjid (LTM) PBNU Ibnu Hazen menjelaskan filosofi dari tradisi mudik di Indonesia adalah agar ingat terhadap tanah leluhur. Dengan mudik, masyarakat juga tidak lupa terhadap keluarganya.
“Tradisi itu kan ingat kepada tanah leluhur, tradisi mudik itu. Rasulullah sendiri ketika melihat kota kelahirannya Madinah, itu untanya di suruh segera lompat, segera lari saking cintanya untuk tanah kelahirannya,” ujarnya.
Kecintaan Rasulullah kepada tanah kelahirannya itu sama haknya dengan para mudik yang ingin melelaskan kerinduan ke kampung halamannya masing-masing.
“Sama dengan mudik ini orang ketika mudik lebaran, ingat kampung halamannya dan leluhurnya sehinga tertarik untuk pulang. Filosofinya seperti itu,” ucapnya.
Selain itu, tradisi mudik ini berkaitan dengan ajaran Islam karena mudik memiliki esensi silaturrahim. Sebab, dengan melakukan silaturrahim ketika mudik maka bisa menambah rezeki.
“Silaturahim itu katanya juga menambah rezeki, di samping memperbanyak kawan juga menambah rezeki,” katanya.
Tahun ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melayani masyarakat yang ingin mudik denganmenyediakan 50 bus full AC dan akan mengangkut sekitar 3.000 peserta mudik PBNU mulai Sabtu (9/5/2018) besok.
Tradisi mudik ini akan memeberikan keberkahan dan manfaat kepada semua orang. “Karena itu, LTM PBNU ini judulnya mudik berkah bareng Nahdlatul Ulama. Jadi bukan mudik gratis ktia istilahnya, tapi berkah,” katanya.
Bagi warga yang mudik agar tidak menyombongkan diri di kampung halamannya masing-masing, sehingga mudiknya membawa berkah.[Mor]