Targetkan Penerimaan 1.424 Triliun, DJP: Data Pengemplang Pajak Dikejar
Sabtu, 6 Januari 2018
Indonesiaplus.id – Tahun ini, Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.424 triliun. Target tersebut cukup berat bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebab ada kenaikkan 20 persen dari realisasi penerimaan 2017 sementara program amnesti pajak (tax amnesty) telah berakhir.
“Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi DJP,” ujar Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan di Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Mandat rutin, kata Robert, yang sudah melekat di DJP akan tetap dijalankan, baik dari pemeriksaan, perbaikan pelayanan, dan penegakan hukum.
Seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah (Kanwil) diminta meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi basis pajak.
Sehingga, DJP memiliki pekerjaan rumah yang belum tuntas, RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang masih diproses DPR dan RUU PPN dan PPh yang masih dikaji Kemenkeu.
“Perbaikan instrumen regulasi diharapkan membantu proses bisnis pemungutan pajak tahun ini. “Hal yang rutin akan terus kami lakukan, yang sifatnya baru reformasi pajak,” katanya.
Reformasi dimulai dari perbaikan sistem teknologi perpajakan yang selama ini dinilai usang. Tentu saja, perbaikan membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) dan restrukturisasi organisasi DJP.
Memang, ketiadaan amnesti pajak tahun ini memicu pekerjaan DJP berat. Seiring memasuki era keterbukaan informasi data nasabah antarnegara (automatic exchange of information/AEoI) diharapkan dapat membantu pemerintah.
Lagi pula, kontribusi amnesti pajak terhadap penerimaan 2017 hanya Rp 12 triliun. AEoI memberikan wewenang kepada DJP untuk mengakses otomatis data nasabah domestik maupun di luar negeri dengan saldo minimal Rp 1 miliar untuk mengecek kepatuhan pajak. Namun, dia belum bisa menjelaskan berapa kontribusi AEoI terhadap penerimaan pajak.
“Belum bisa disebutkan, tapi seyogianya (AEoI) dapat menambah kemampuan kami untuk mendeteksi (pengemplang pajak),” ucapnya.
Tahun lalu, penerimaan pajak Rp 1.151,10 triliun, naik 4,08 persen dari realisasi penerimaan 2016. Dibandingkan target APBN-P 2017 hanya mencapai 89,68 persen. Kontribusi terbesar pajak dari industri pengolahan 31,8 persen dan terkecil dari pertanian 1,7 persen.
Pada 2018, DJP akan mendorong perbaikan tingkat kepatuhan pajak. “Hasil penerimaan dari usaha ekstra tidak boleh dominan karena kita akan jadi sibuk (menagih pajak),” imbuhnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, penerimaan pajak tahun 2017 sudah rendah meski dibantu amnesti. Sumber-sumber penerimaan pajak datang dari orang yang sama dengan perbaikan pelaporan.
“Sumur-sumur pajak itu ya yang sudah ada dan relatif sudah patuh bayar pajak. Mencapai 90 persen kan sudah susah,” katanya.
Strategi pemungutan pajak tahun ini harus diubah. Agresivitas tinggi dari DJP mengejar pajak akan memicu kalangan usaha khawatir dan berhenti ekspansi. Peningkatan penerimaan harus tetap diupayakan meski perlu disertai kehati-hatian agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
“Pemerintah diminta harus lebih mendengar kalangan pengusaha, tidak sekadar mengejar target penerimaan karena akan menjadi kontraproduktif, ” tandasnya.[Sal]