Sepanjang 2018, OTT KPK 26 Kali dan Dapat Rp 500 Miliar

Kamis, 20 Desember 2018
Indonesiaplus.id – Langkah Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) mengusut kejahatan kasus rasuah tidak pernah surut. Sehingga berprestasi dengan mengungkap tindak pidana korupsi terus meningkat.
Berdasar catatan akhir tahun, 2018 KPK paling banyak menjaring pelaku rasuah lewat operasi tangkap tangan (OTT), yakni 28 kali.
“Tentu saja dari jumlah itu masih bisa bertambah. Angka itu juga belum termasuk OTT (pejabat Kemenpora),” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Dari 28 OTT, KPK menetapkan 108 orang sebagai tersangka, yang meliputi anggota legislatif, aparat penegak hukum, hingga kepala daerah.
Jumlah tersebut belum termasuk tersangka yang ditetapkan berdasar hasil pengembangan perkara. Kasus penyuapan mendominasi yakni 152, pengadaan barang jasa 17, dan pencucian uang 6.
Sepanjang 2018, KPK menjaring sedikitnya 23 penyelenggara negara, terdiri atas 18 bupati, 3 wali kota, dan 2 gubernur menyangkut kasus dugaan korupsi (suap) terkait penanganan proyek infrastruktur dan penyalahgunaan anggaran. Sedangkan penetapan tersangka anggota DPR-DPRD sebanyak 91 orang, pejabat setingkat eselon I-VI 20 orang, dan swasta 50 orang.
“Dari OTT kerap menjadi pintu masuk untuk menjerat dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi dan pencucian uang,” katanya.
KPK menyetorkan Rp 500 miliar ke kas negara dalam bentuk Pendapatan Negara Non Pajak (PNNP). Di dalamnya termasuk hasil lelang rampasan dan tindak pidana pencucian uang.
Ketua KPK Agus Rahardjo berjanji akan lanjutkan penyidikan sejumlah kasus besar yang belum tuntas di tahun ini. Kasus itu di antaranya Pelindo, BLBI, KTP-el, dan Century. “Semua masih berproses. Semua kasus itu hutang kami dan segera dituntaskan,” kata Agus.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memastikan, kasus RJ Lino terkait dugaan memerintahkan pengadaan tiga quay container crane (QCC) dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Co Ltd) dari China sebagai penyedia barang bakal dikembangkan, meski KPK kesulitan. Sampai kini kasus tersebut belum naik ke pengadilan.
“Hingga kini unsur kerugian negara belum ada. Data harganya kami belum dapat. Namun, karena KPK tidak punya kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), kami menggunakan ahli lain untuk menghitung,” pungkas Alexander.[sap]





