Guru Besar FH Undip: Pemerintah Dinilai Abuse of Power
Selasa, 3 Oktober 2017
Indonesiaplus.id – Dalam membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pemerintah dinilai mengindahkan proses hukum yang tepat dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Suteki mengatakan, di negara hukum, ketika ada penyimpangan, bahkan pelanggaran kecil saja, itu harus diimbangi dengan kekuasaan yang lain, yakni kekuasaan yudikatif. Kita melanggar aturan lalu lintas saja diberi hak satu minggu untuk membela diri.
“Jelas, ini vandalisme dan secara kontekstual itu sudah terjadi pada (pembubaran) HTI,” ujar Suteki saat bersaksi dalam lanjutan sidang uji materi Perppu Ormas di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat itu, Suteki berstatus sebagai saksi ahli yang dihadirkan pemohon perkara No 41/PUU-XV/2017 yakni Aliansi Nusantara.
Pada perkara itu, pemohon menggugat Pasal 61 dan 62 tentang Sanksi bagi Ormas serta Pasal 82A yang mengatur ketentuan pidana.
Menegasikan due process of law dalam penerapan asas contrarius actus, pemerintah menjadi satu-satunya penafsir kondisi darurat dan menentukan ormas mana yang bertentangan dengan Pancasila. “Dengan kondisi ini, pemerintah potensial melakukan abuse of power,” katanya.
Majelis hakim meminta keterangan pihak terkait pada perkara bernomor 38/PUU-XV/2017, 39/PUU-XV/2017, 48/PUU-XV/2017, 49/PUU-XV/2017, 50/PUU-XV/2017, dan 52/PUU-XV/2017.
Juru bicara HTI Ismail Yusanto sepakat proses hukum yang adil diindahkan pemerintah dalam proses pembubaran HTI. Ismail menilai bahwa Perppu Ormas hanya menghadirkan kepastian hukum, tapi tidak memberikan keadilan.[Mus]