NATIONAL

Bau Tak Sedap, Komisi VII Bakal Bawa Divestasi Freeport ke KPK

Rabu, 16 Januari 2019

Indonesiaplus.id – Keputusan divestasi 51% saham Freeport Indonesia oleh PT Inalum senilai US$ 3,85 miliar, dan dikeluarkannya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) terhadap perusahaan tambang asal Amerika itu.

Komisi VII DPR RI masih merasa ganjil dan menduga ada aturan yang ditabrak oleh pemerintah dan semata-mata untuk memuluskan divestasi ini.

Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Muhammad Nasir akan melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupai (KPK) berkaitan dengan divestasi yang dinilainya sudah menabrak aturan. Untuk itu, dia meminta divestasi ini ditinjau ulang.

“Soal ini dipaksakan dan banyak tabrak aturan. Proses alih kelola Freeport saya akan laporkan dan direkomendasi ke KPK. Kami minta semua keputusan diserahkan ke KPK biar KPK yang tindak lanjuti,” kata Nasir saat rapat dengan pendapat (RDP) dengan Dirjen Minerba, Dirut Inalum, Dirut Freeport di Komisi VII DPR RI,  Jakarta, Selasa (15/1/2019).

DPR merasa heran pemerintah lebih memilih jalan divestasi ketimbang menunggu kontrak Freeport habis pada 2021. Dimana ada ketentuan yang memperbolehkan pemerintah untuk tidak memperpenjang kontrak sehingga tidak perlu dilakukan divestasi.

Kondisi seperti yang dilakukan pemerintah pada blok Rokan. Dimana pemerintah di Blok Rokan tidak memperpanjang izin dan memberikan blok itu kepada Pertamina.

“Kenapa ini tidak dilakukan di Freeport. Kalau ini dilakukan maka kita 100% bisa kuasai Freeport. Apakah ini  karena kepentingan bisnis atau apa,” katanya.

Dirjen Mineral dan Batu Bara (minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, divestasi dan memperpanjang kontrak menjadi pilihannya karena ada alasan.

Bambang mengklaim bahwa ada potensi sengketa yang akan terjadi apabila tidak dilakukan proses perpanjangan kontrak PTFI.

“Dalam aturan ada ketetapan bahwa pemerintah tidak boleh menolak atau menahan apabila pemegang KK telah memenuhi persyaratan dan berkinerja baik,” ungkapnya.

Jika melalui proses arbitrase maka diperlukan waktu paling sedikit sekitar 24 bulan sehingga akan berdampak kepada operasi tambang yang berhenti dan akan akibatkan dampak teknis, lingkungan, ekonomi dan sosial.

“Dalam UU minerba dan PP ada aturan bahwa perpanjangan tidak boleh diberikan saat habis kontrak tapi sebelum kontrak habis harus sudah dibahas,” pungkasnya.[sap]

Related Articles

Back to top button