Dunia Politik Munculkan Pemimpin Muda Bergaya Tak Konvensional

Minggu, 22 Oktober 2017
Indonesiaplus.id – Dunia politik menjadikan banyak muda melejit jadi pemimpin negara atau pemerintahan. Namun, tetap saja masa bulan madunya terbatas. Walaupun gaya berpolitik yang berkesan ”rebel”.
Hingga enam tahun lalu, warga Austria lebih mengenalnya sebagai model brosur Partai Rakyat Austria. Berpose di kap, dikelilingi beberapa pria dan perempuan yang semuanya berpakaian serbahitam. ”Hitam itu keren.” Demikian bunyi brosur tersebut, merujuk kepada warna kebesaran partai.
Namun enam tahun berselang, persisnya hari ini, Sebastian Kurz, si model ganteng itu, akan diambil sumpah sebagai kanselir Austria. Tak ada lagi warna hitam yang gelap di emblem partai.
Berganti toska yang lebih cerah, lebih muda, dan lebih kekinian. Sesuai usia sang pemimpin baru: 31 tahun. Si Wunderwuzzi alias Pemuda Luar Biasa, julukan Kurz, memang berhasil memperbarui citra Partai Rakyat Austria.
Partai konservatif itu jadi lebih dinamis. Jadilah rata-rata usia pendukung mereka pun menjadi lebih ”milenial”.
Kurz mewakili tren yang tengah menggejala di banyak negara: munculnya banyak pemimpin muda Coba menengoklah ke Selandia Baru.
Di negeri belahan selatan bumi itu, Jacinda Ardern berhasil mengangkat perolehan suara Partai Buruh dengan keberpihakannya yang kuat terhadap liyan. ”Bagi saya, martabat semua makhluk hidup itu sama,” kata perempuan 37 tahun tersebut.
Itulah yang membuatnya memilih meninggalkan Gereja Mormon. Sebab, gereja itu jelas melarang dan tidak mendukung kaum homoseksual.
Gayanya yang cair, hangat, dan terbuka, juga sisi lainnya sebagai seorang disk jockey amatir, penyayang binatang, dan penyuka petualangan membuatnya tak berjarak dengan pemilih pemula. Juga anak-anak muda pada umumnya.
Juga, Leo Varadkar yang terpilih sebagai PM Republik Irlandia pada usia 39 tahun. Dia mendekati rakyatnya dengan mengikuti triatlon, berpenampilan kasual, dan keterbukaan dalam berkomunikasi. Tak ubahnya Justin Trudeau di Kanada.
Latar belakangnya yang keturunan India dan gay juga dengan sendirinya seolah mendobrak konservatisme Irlandia, negeri berpenduduk mayoritas Katolik itu. Terkesan ”rebel”, sesuatu yang selalu menarik perhatian anak-anak muda.
Tapi, persoalannya, benarkah gaya politik milenial itu efektif? Jangan-jangan hanya bagus buat pencitraan.
”Saya kadang merasa khawatir. Para politikus yang terlihat menarik, mampu berkomunikasi dengan baik dan simpatik, itu tidak semuanya serius,” ujar Kadri Liik, pakar politik dari European Council on Foreign Relations, dalam wawancara dengan BBC, Selasa (17/10/2017).
Di mata Liik, para pemimpin muda itu rata-rata hanya pandai menerapkan ilmu public relations. Saat benar-benar bekerja, tidak banyak dari mereka yang bisa memenuhi harapan publik.
Kritik Liik itu ada benarnya. Di Irlandia, Varadkar mulai sering dikecam karena terlalu sibuk menciptakan citra positif dirinya dan Irlandia di mata dunia. Sebaliknya, mengabaikan urusan-urusan domestik.
Janji di masa kampanye untuk membangun 2.500 unit rumah bagi para tunawisma, misalnya, tak kunjung terealisasi.
”Dia mengikuti gaya Trudeau. Tapi, apakah kemampuan politiknya sama?” ujar Johnny Fallon, pengamat politik Irlandia. Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron memang menarik perhatian dengan pembawaannya yang lembut atau kegemarannya pada Daft Punk, duo musik elektronik asal Prancis yang mendunia.
Namun belakangan presiden 39 tahun itu juga mulai menuai kritik karena dianggap gagal mengangkat perekonomian negaranya.
Kepemimpinan Kurz dan Ardern tentu belum bisa dinilai. Namun, mereka harus ingat, masa bulan madu hanya sementara. Kalau tak mampu mentransfer citra milenial mereka yang mendatangkan suara ke dalam kerja nyata yang dampaknya dirasakan warga, dengan segera kekaguman bakal berubah jadi hujatan.[Fat]